Oleh : Taufiqurrahman SN
Sampai saat ini kekerasan atas nama perempuan masih terus bergulir. Tubuh mereka dieksploitasi, tenaga mereka diperas. Bahkan hak mereka pun ditebas oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sangat ironis memang, tapi demikian realitasnya. Peran pemerintah pun hanya manis diatas kertas dan aktualisasinya jauh panggang dari api. Perempuan masih dipandang sebelah mata. Perannya pun sering dinomor duakan. Tetapi, pahlawan devisa di negeri ini lahir dari tenaga kerja Indonesia yang didominasi perempuan.
Disekitar kita juga tidak luput dari aksi kekerasan atas bingkai perempuan. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi misteri yang kadang muncul dan mengagetkan publik. Meskipun gerakan feminisme dan gender telah di sosialisasikan serta sering diadakan dalam Seminar serta Forum-forum diskusi diberbagai tempat, tetapi belum mampu merubah maindseat perempuan. Mereka masih merasa bahwa perempuan berada dibawah ketiak suaminya. Mereka mahluk lemah. Penurut dan pemalu. Sehingga aksi KDRT dianggap sebagai aib jika sampai kuping tetangga mendengar.
Faktor ekonomi pun berperan aktif dalam menyulut terjadinya KDRT. Tidak salah jika para kaum hawa ini, ingin mengubah nasibnya di negeri orang, karena melihat tetangganya yang tampil beda dan dianggap sukses bekerja diluar negeri. Atas cerita dan bujukan tetangganya itu, mereka akhirnya tertarik. Namun, yang sering dikesampingkan adalah faktor intern sendiri. Faktor intern ini saya artikan sebuah kapasitas dan profesionalitas mereka dalam hal bekerja. Salah satunya adalah penguasaan bahasa. Tidak jarang para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Perempuan (TKW) kita minim dengan penguasaan bahasa perusahan atau negara yang dituju. Padahal bahasa menentukan komunikasi. Dan komunikasi yang baik menentukan keselamatan.
Meskipun begitu, luar biasanya antusias masyarakat untuk menjadi TKI/ TKW tidak pernah surut. Berbagai instansi ketenagakerjaan baik legal maupun ilegal selalu ramai dipenuhi calon TKI. Sampai-sampai mereka menumpuk di kam penampungan sebelum benar-benar berangkat ke negara tujuan. Di Kam ini, hak-hak mereka mulai terpasung. Kekerasan, penipuan, pelecehan, dan ketidakadilan menjadi sarapan sehari-hari. Bahkan ditempat ini, banyak calon TKI/ TKW yang sudah bertahun-tahun tidak diberangkatkan. Namun tidak ada kejelasan hukum terhadap mereka. Mereka hanya pasrah dengan keadaan. Tidak tahu kepada siapa mereka mengadu. Kalau demikian apa bedanya manusia dengan binatang?.
Korban Kekerasan
Menurut Maswita Djaja, Deputi Bidang Kordinasi Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Anak, Kementerian Koordinatir Bidang Kesejateraan Rakyat, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara pengirim tenaga kerja terbesar di Asia Tenggara setelah Fhilipina. Hingga bulan Juni 2005 Depnakertrans melaporkan bahwa jumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) mencapati 3.808.741 orang dimana sebagaian besar (72,5%) adalah buruh migran perempuan. Dan sebagaian besar mereka mendapatkan bentuk diskriminasi serta penipuan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Himpitan kekerasan yang ada disekitar perempuan menjadi trauma tersendiri bagi kaum hawa. Seakan, hak asasi perempuan tercabik oleh tindakan biadab yang menindas. Hal ini mendedahkan kegelisahan di berbagai kalangan, bahwa budaya patriarkhi, masih menjadi belenggu kesetaraan perempuan.
Kekerasan yang menimpa perempuan juga semakin memprihatinkan, mereka tersakiti oleh kekuatan yang meruntuhkan gerakan emansipasi. Sebagai bahan analisis dan refleksi, data dari komnas Perempuan mengabarkan bahwa selama kurun waktu tiga tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami pertambahan yang sangat memprihatinkan menjadi 20.391 kasus (2005). Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2004 (14.020 kasus ), 2003 (5.934 kasus), dan 2002 (5.163 kasus). Sebesar 82% (16.615 kasus) dari total 20.391 kasus, adalah kasus kekerasan dalam keluarga dan relasi personal. Sedangkan kekerasan yang terjadi dalam komunitas mencapai 15% (3.129 kasus), sisanya masuk dalam kategori kekerasan negara (0.3%) dan 2,7%nya termasuk kategori lain-lain.
Datas diatas buakan hanya mengisi ruang kognitif saja, namun sebagai refleksi dan renungan bagi kita dalam memperingati hari perempuan dunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret ini. Sudah serendah itukah martabat perempuan dalam dunia kapitalisme ini, yang semuanya diukur dengan uang?. Pertanyaan semacam ini muncul ketika melihat fakta kasus-kasus TKW diluar negeri yang disiksa oleh majikannya. Masih jelas ingatan kita dipenghujung tahun 2010 kemarin dan awal 2011, TKW kita mendapat perlakukan tidak manusiawi oleh majikannya. TKW asal Dompu Nusa Tenggara Barat (NTB), bernama Sumiati kembali menjadi obyek pemberitaan media karena ia mengalami kasus kekerasan dan pengibirian hak, ia dipukul, disiksa, distrika punggungnya, digunting bibirnya bahkan ia sempat terbaring takberdaya akibat kekejaman sang majikan di Saudi Arbia.
Belum kering air mata ibu pertiwi, kita dihentakkan kembali oleh TKW Kikim Komalasari asal Ciganjur, Jawa Barat yang tewas disikat oleh majikannya dinegara yang sama pula. Kikim diduga di gorok dibagian leher dan kemudian jasadnya dibuang didekat kota Jeddah.
Dari realitas diatas seharusnya Pemerintah lebih giat meningkatkan kerjasama dengan Negara- negara Tujuan. Kerjasama ini ihwal perlindungan TKI/ TKW yang jelas-jelas terjamin di negara tujuan dengan adanya perjanjian bahwa negara tujuan bersedia menjamin perlindungan TKI/TKW, dan termuat dalam perjanjian bilateral. Meliputi hak dan kewajiban para pihak. Secara tegas mengatur tentang gaji, jam kerja maksimal 8 jam, lebih dari itu dihitung lembur, syarat-syarat kesehatan, hak atas informasi dan komunikasi serta kesepakatan perpanjangan kontrak kerja. Jika itu dipenuhi, maka tidak akan terjadi pengibirian hak asasi TKW diluar negeri. Semoga!
Penulis adalah Peneliti The Humaniora Park UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta