Dari Jogja, untuk Indonesia


Oleh Taufiqurrahman SN*

Ditengah terpaan badai krisis multidimensional yang cukup kuat sampai sekarang, bangsa ini seakan-akan mengalami ketidakseimbangan dalam meneguhkan kesadaran membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Era reformasi yang dicetusn Amin Rais, sebagai harapan bangsa dalam memperbaruhi insfrastruktur dan suprastruktur yang telah lama hancur menuju indonesia yang gemilang, ternyata melenceng, malah menunjukkan wajah yang semakin buram dan memperhatinkan. Meskipun dalam segi pembangunan fisik terlihat banyak kemajuan, tetapi dalam tubuh pembangunan bangsa sendiri terlihat statis seperti “wajah peradaban” orde baru yang sama sekali tidak menghargai kebebasan berkreatifitas.

Kenyataan bahwa korupsi pada orde baru bersifat individual, sekarang korupsi justru berjamaah, adalah bukti bangsa ini telah kehilangan ‘kesadaran bernegara’. Pahlawan-pahlawan baru yang ditunggu-tunggu bangsa untuk menyelamatkan negara dari budaya laten korupsi, ternyata malah dibungkam dan dipermasalahkan sendiri. Ini dapat digambarkan sebagai orang waras, berada dilingkungan orang-orang gila. Maka yang dianggap gila adalah orang yang waras tadi.


Karena nalar dan watak perilaku bangsa yang koruptif, hedonis, matrealis dan pragmatis, menjadikan kesejahteraan bangsa tergadaikan. Masyarakat yang seharusnya tidak terbenani dengan hutang luar negeri, malah terkena getahnya. Padahal kenyamanan hidup, kesehatan dan pendidikan tidak terpenuhi. Inlah wajah buram yang sekian lama dan sampai sekarang terus menyelubungi kehidupan bangsa. Diperburuk lagi dengan adanya bencana alam yang bertubu-tubi, terutama banjir.

Banjir sebagai momok bangsa yang tidak dapat dielakkan lagi kedatangannya, adalah wujud dari managemen pemerintah tentang banjir masih amburadul dan belum sistematis. Memang bagi pemerintahan SBY Jilid II ini, tegolong sulit untuk mengaplikasikan rancangan-rangan kebijakannya, pasalnya, untuk saat-saat ini dalam tubuh pemerintah sendiri sedang dilanda krisis integritas kepercayaan diantara tubuh petinggi negara. Untuk itu, pemerintah perlu membangun kesadaran bernegara sebagai modal bangsa menghadapi berbagai bencana fisik maupun nonfisik. Dalam konteks ini, diperlukan juga perangkat kebudayaan, yang diharapkan mampu menyatukan visi dan misi bangsa dalam melangkah kemasa depan. 

Dari Jogja
Kita tahu ditengah gempuran arus modernisasi dan arus informasi yang terus mengglobal, ternyata Jogja mampu tampil menawan dengan kekhasan tradisionalnya. Jogja mampu membuktikan dirinya sebagai wong jowo yang komitmen dengan kejawaannya, tetapi juga mampu tampil secara kritis, progresif dan kongkruen dihadapan publik modern. Bagi Jogja, orang modern adalah mereka yang selalu menjagawarisan tradisi dan kebudayaanya.
 

Komitmennya dengan warisan budaya lokal inilah yangmampu menjadikan Jogja sebagai kota yang menyandang gelar paling banyak di nusantara. Sebagai kota pelajar yang haus akan pengetahuan dan banyak mencerna pemikiran-pemikiran modern, tetapi mereka mampu tampil dengan life stail yang masih mencerminkan ke-Jogja-annya. Para Siswa, Mahasiswa, Dosen, Peneliti bahkan Rektor pun tidak segan-segan malu untuk makan di angkringan (warung khas Jogja) yang tersebar diberbagai ruas jalan. Mereka bangga dengan kehidupan seperti itu, karena mereka dapat sesrawungan dengan masyarakat luas bahkan dapat berdiskusi langsung dengan anak jalanan, tukang becak, pedagang asongan bahkan wanita tunasusila.

Suasana akrab berbagai elemen masyarakat inilah yang menjadikan tranmisi kebudayaan Jogja selalu lestari dari generasi kegenerasi berikutnya. Terlebih peran keraton juga sangat besar efeknya terhadap terjaganya tradisi kebudayaan di Jogja. Seperti penyelenggaraan tradisi-tradisi lokal, semisal sekaten, grebeg, muludan dan lainnya. Warisan Jogja yang melimpah ruah inilah yang membuat Jogja selalu ramai dengan acara-acara kebudayaan. Dan selalu saja muncul sastrawan, pemikir, budayawan, penulis bahkan negarawan tumbuh subur di Jogja.

Untuk Indonesia

Warisan-warisan agung diatas sekiranya sangat tepat untuk dijadikan titik pijak bagi perkembangan Indonesia hari ini maupun masa datang. Wajah buram Indonesia sekarang perlu mendapatkan ‘suntikan-suntikan hangat’ dari kebudayaan Jogja, sehingga diharapkan mampu membawa kebudayaan nusantara menuju ranah perubahan yang progresif, transformatif dan strategis.


Dalam hal ini, penulis secara universal bukan mengklaim bahwa kebudayaan Jogja adalah the best untuk membawa Indonesia yang lebih baik dan kemudian menafikan budaya-budaya nusantara lainnya. Tetapi penulis melihat bahwa Jogja adalah kota yang memiliki sejarah dan perkembangan kebudayaan luar biasa bagi peradaban bangsa. Maka memunculkan Jogja hari ini, merupakan langkah awal, yang kemudian diharapkan akan diteruskan anak bangsa lainnya di seluruh nusantara dengan konsep kebudayaannya masing-masing.
 

Nilai-nilai luhur kebudayaan Jogja yang dapat kita petik dalam membangun masyarakat, pertama adalah dengan mengikis sifat egoisme. Artinya, nilai-nilai luhur itu sebaiknya dijadikan landasan para calon wakil daerah yang akan maju pada PEMILUKADA tahun ini. Mereka yang nantinya akan duduk dikursi kekuasaan, seharusnya mawas diri dan bertanggung jawab atas amanah rakyat. Mereka yang saat ini tengah “menebar pesona” untuk dipilih rakyat, tidak sepantasnya hanya mengumbar statemet kosong, tetapi rakyat butuh bukti kongkrit atas kosekuensi mereka. Jangan sampai rakyat dijadikan tangga untuk memperoleh kepentinga-kepentingan pribadi. Ibarat mobil mogok, rakyat diminta denganmerengek untuk mendorongnya, namun setelah mobil tersebut hidup, rakyat hanya mendapatkan ucapan terimakasih dan lambaian tangan saja.

Kedua, semangat ke-Jogja-an mengajarkan bahwa kebudayaan merupakan pondasi penting bagi pegangan berbangsa dan bernegara ditengah terpaan arus informatika dan globalisasi yang tak tertahankan. Adalah tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan kebudayaan-kebudayan lokal sebagai kearifan yang diwariskannenek moyang kita. Yang menjadi tantangan saat ini dalam menjaga keutuhan kebudayaan nasional seperti yang di katakan Ignas Kleden (1991) bahwa dalam perkembangannya kebudayaan nasional lebih merupakan isu politik daripada isu kebudayaan itu sendiri, dimana konsep-konsep kurang dihayati sebagai semacam cultural entity atau sociological fact, melainkan sebagai political norm yang diberlakukan secara asimetris. Maka hal ini kalau tidak segera di sikapi dengan serius, akan menjadi cambuk dalam meneguhkan ke-indonesia-an.

*Penulis adalah Pengamat PEMILUKADA Yogyakarta

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.