Pancasila: Membendung Radikalisme


Oleh Taufiqurrahman SN
Kalangan akademisi akhir-akhir ini dihebohkan dengan adanya perekrutan dan pencucian otak yang dilakukan oleh aktivis kelompok Negara Islam Indonesia (NII). Objek perekrutan kebanyakan adalah mahasiswa. Bahkan sudah puluhan orang yang telah menjadi korban.
Perguruan Tinggi masih menjadi lokasi ideal yang dibidik aktivis NII karena, pertama, usia mahasiswa merupakan usia pencarian jati diri yang ditandai dengan belum matangnya kempampuan mereka memilih jalan hidup. Usia labil seperti inilah yang kemudian dimaanfaatkan oleh aktivis NII dalam perekrutannya.
Kedua, mahasiswa mendapat otoritas oleh keluarganya untuk hidup mandiri. Otomatis mahasiswa akan mengalami revolusi kehidupan yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Ditambah lagi kontrol keluarga yang jauh dan tidak intens, membuat mahasisiwa berjuang beradaptasi dengan teman maupun lingkungan barunya. minimnya kontrol inilah yang kemudian banyak kalangan mahasiswa yang terjebak dalam perekrutan-perekrutan “bawah tanah” oleh aktivis NII. Oleh karena itu, banyak orang tua yang tidak mengetahui apa saja aktivitas anaknya di kampus, nan jauh sana.
Dari peristiwa itu, kemudia seminar-seminar dan tulisan-tulisan tentang radikalisme (aliran garis keras) kemudian banyak muncul dikalangan akademisi. Tidak lain untuk mengidentifikasi dan mengenal bagaimana kelompok-kelompok yang dinamakan radikal itu, agar mahasiswa mempunyai padangan dan pemahaman tersendri mengenai radikalisme. Sehingga mereka tidak gegabah dalam menerima hal yang baru termasuk perekrutan-perekrutan kelompok radikalisme ini.
Radikalisme dipandang sebagai akar mula munculnya terorisme didunia ini. Kelompok teroris di Indonesia pada mulanya punya kaitan sejarah dengan gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia. Sebagian kelompok ini terpecah dalam banyak fraksi akibat gesekan-gesekan internal. Sebagian dari fraksi membentuk gerakan islam radikal. Seperti Jemaah Islamiyah (JI) yang melahirkan sejumlah teroris di Indonesia.
Hal inilah yang perlu diperhatikan kenapa kelompok radikalisme dapat berkembang di Indonesia. Menurut Zuhairi Misrawi (2011) Tumbuh kembangnya gerakan-gerakan radikal dan teror di dorong adanya penafsiran agama yang salah, dan cenderung normatif dalam memahami wahyu. Mereka menilai pemerintah di Indonesia gagal dalam mensejahterakan umat, karena sistem yang digunakan tidak sesuai dengan ajaran islam. Faktor kemiskinan ekonomi, dan ketidakadilah politik global juga merupakan alasan utama mereka. Sehingga apabila ketiga faktor diatas itu masih ada, maka fenomena radikalisme dalam islam akan sulit dihilangkan.
Meningkatnya ideologi radikalisme karena nilai-nilai dasar yang yang menjadi nilai kehidupan bernegara selama ini sudah memudar. Lemahnya ideologi Negara akibat pemerintah yang lebih asyik bermain politik pragmatis, daripada melestarikan ideologi yang menjadi dasar pijakan bangsa untuk bertindak dan berbuat tergadaikan. Makanya tidak salah jika gerakan-gerakan islam radikal mudah masuk di negeri ini.
Disinilah arti pengtingnya memahami bahwa Islam di Indonesia, berbeda dengan islam di Arab Saudi atau Timur Tengah lainnya. Islam di Indonesia  merupakan islam yang berbaur dengan tradisi lokal nusantara. Ia mempunyai ciri khas tersendiri. Bukan islam yang diimpor secara mentah dari Negara Timur Tengah. Oleh karena itu, akan kontradiktif ketika ada sekelompok yang menghendaki Indonesia sebagai Negara islam.
Ada tiga sulosi yang penulis tawarkan mengenai maraknya kelompok fundamentalisme yang menyerang di Perguruan Tinggi akhir-akhir ini. Pertama, mahasisiswa maupun masyarakat  harus kembali memahami ideologi pancasila secara utuh. Ideologi pancasila harus diterjemahkan secara aplikatif, tidak cukup hanya diajarkan dikelas. Karena, nilai dasar pancasila akan mudah dipahami apabila masyarakat mengerti bentuk nyata nilai tersebut. Jika pemahaman akan ideologi pancasila ini telah menghujam dalam bentuk praktik kehidupan berbangsa dan bernegara maka gerakan-gerakan radikalisme tidak lagi berbahanya bagi kedaulatan Negara.
Selama ini, tepatnya setelah era reformasi Negara kita mengalami yang namanya “kekosongan ideologi”, sehingga secara rasional membuka peluang bagi kelompok radikal dalam memasukkan keinginan mereka sekaligus mengisi kekosongan ideologi tersebut. Hal yang sama juga terjadi Diperguruan Tinggi, Setelah era reformasi mata kuliah pancasila dibeberapa perguruan tinggi dinganti dengan filsafat pancasila, atau bahkan dihapus sama sekali. Filsafat pancasila lebih pada aspek pengatahuan bukan ideologis (keyakinan).
Maka belajar dari kejadian ini, pemerintah seharusnya mulai menggalakkan kembali pendidikan pancasila baik pada lembaga pendidikan maupun lembaga sosial sebagai landasan ideologis dalam bersikap dan bertindak.
Kedua, membenahi sistem pengajaran di perguruan tinggi utamanya mengenai pelajaran agama. Agama seharusnya tidak hanya mengulangi ajaran teologis-normatif yang kadang menjenuhkan karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Agama tidak harus kaku, tetapi hukum harus tegas. Dan agama harus dipahami sebagai rahmatal lil’alamin,yakni pemersatu dari perbedaan bukan pemecah dari persatuan.
Ketiga, Pembaharuan lembaga dan organisai kemahasiswaan intrakampus maupun ekstrakampus juga harus lebih diperhatikan. Menurut Syafii Ma’arif, dalam beberapa tahun ini organisasi intrakampus seperti BEM, lebih banyak terlibat dalam aktivitas politik, demonstrasi, dan prostes terhadap isu-isu politik maupun pemerintahan. Jarang yang memperhatikan masalah-masalah penguatan ideologi kebangsaan. Inilah yang mungkin juga dijadikan ‘kesempatan emas’ bagi kelompok radikal dalam merekrut anggotanya.
Hal yang sama juga terjadi pada organisasi-organisasi ekstrakampus yang sebenarnya mempunyai dasar ideologis yang kuat. Seperti PMII, HMI, IMM, KAMMI, GMNI dan GMNK juga tidak begitu aktif dalam proses kaderisasi. Mereka lebih mengedepankan wacana dan politik daripada pengkaderan ideologis. Padahal keanggotaan dalam organisasi merupakan salah satu faktor penting dalam membendung terjerumusnya mahasiswa kedalam gerakan radikalisme. Sebab ketidakikutsertaan mahasiswa dalam organisasi akan cenderung lebih mudah terjaring kelompok ini, karena mereka cenderung polos dan tidak terbiasa berfikir analitik.
Dus, disinilah sebenarnya nilai penting perguruan tinggi yang hendaknya menjadi sarana penguatan karakter bagi mahasiswa dan mengajari mereka untuk saling menghargai dan menerima perbedaan. Agar cara pandang mahasiswa lebih luas. Hal demikian sebenarnya sudah termaktub dalam nilai-nilai dasar pancasila, yakni sila ke-3. Sehingga tepat sekali jika membendung radikalisme dengan menanamkan nilai-nilai pancasila.
Penulis adalah Peneliti The Humaniora Park; Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.