Ritual Haji ditengah Bangsa Miskin

Oleh: Taufiqurrahman SN*

Antusias masyarakat muslim Indonesia dalam kancah pelaksanaan haji ketanah Suci (Mekkah) dari tahun-ketahun menunjukkan peningkatan yang  cukup pristesius. Terbukti dengan banyaknya antrean daftar calon haji (waiting list) di departemen agama (agama), bahkan setiap daerah quota haji sudah penuh terisi hingga tahun 2012 mendatang. Sungguh ini fenomena menawan di negeri yang berpendudukan sekitar 224 jiwa, negeri berkembang yang penduduknya masih banyak yang miskin. Meskipun begitu, luarbiasanya negeri ini justru menjadi negeara muslim dunia yang mengirimkan jamaah haji terbanyak ke Mekkah setiap tahunnya. Padah kita tahu, bukahkan untuk menunaikan ibadah haji itu membutuhkan biaya yang terbilang tidak sedikit.?

Realitas empiris dalam musim haji kali ini, pemerintah Indonesia khususnya departemen agama setidaknya memberangkatkan sekitar 2 juta calon jemaah haji terhitung sejak 1 november 2010 ini. Sedangkan jamaah haji dari luar Arab Saudi tercatat sekitar 1,75 orang, sementara dari kaum pribumi sendiri hanya sekitar 25o orang. Praktis saja, disejumlah bandara di tanah air terlihat antrean orang-orang yang berpakaian serbaputih berjejal-jejal sambil membawa barang bawaan turun dari bus , kemudian naik pesawat terbang. Kita hanya dapat berharap ritual haji tahun ini bisa melahirkan semangat persaudaraan dan solidaritas uneversalisme bangsa.

Ritus ibadah haji tidak hanya sebagai tuntutan kewajiban syariat semata karena telah memenuhi syarat dan rukunnya. Namun kita mengharapkan saudara kita sepulang dari tanah suci dengan menyandang gelar Haji/Hajah menjadi Haji yang mabrur. Dengan konsekuensi menghadirkan pencerah ditengah kebobrokan dan kemiskinan bangsa. Sehingga mereka mamapu berkontribusi dalam bidang pembangungan fisik maupun spritual. Mengingat wajah kemiskinan bangsa yang masih menjadi problem dan pekerjaan rumah yang harus kita entaskan.

Pada tataran inilah sebenarnya fenomena ritual haji sangat kontras dengan fakta sosial. Mereka mampu melaksanakan  haji ditengah kemiskinan, kelaparan dan penindasan orang lain. Logikanya, dengan biaya haji yang mencapai 30 juta rupiah itu sebenarnya dapat diseumbangkan kepada lingkungan sosial yang memerlukan. Artinya, ibadah haji memang  diwajibkan bagi yang mampu, namun ibadah haji sebenarnya merupakan bentuk ritual kesalehan sosial yang lebih mengutamkan kepentingan umum daripada tendensi segoisme seseorang. Oleh karena itu, para calon haji mulai saat ini sadar betapa mulianya amal sosial dari pada amal ketuhanan yang dilakukan dengan tanpa ilmu.

Banyaknya masyarkat miskin dan pengangguran di negeri ini merupakan ladang ibadah untuk memperdayakan mereka lewat harta yang Tuhan titipkan kepada kita. Jumlah pengangguran dinegeri ini setiap tahun bertambah hingga puluhan juta orang. Bahkan lebih banyak lagi didaerah yang saat ini tengah terhimpit benancana alam seperti Banjir Wasior, Luapan Lumpur Lapindo, Tanah Longsong, Tsunami Mentawai dan sebagainya.

Ironis memang, dualisme negeri ini. Disatu pihak mereka dengan mudah pergi ke tanah suci bahkan tidak cukup satu kali karena selain ibadah haji sebagai ibadah juga dijadikan ajang rekreasi bagi sebagain orang. dipihak lain banyak kita jumpai orang-orang miskin, kelaparan, meminta-minta, dan putus sekolah dipelosok-pelosok kota maupun desa.

Orang baru dikatan insal kamil, ketika mereka bergumul, bermasyrakat dan saling membantu kepada sesama, namun tidak sedikitpun melalaikan keimananya kepada tuhan. Namun kenyataannya banyak orang yang mengunggulkan ibadah pribadinya dari pada ibadah sosial, bahkan mereka tertutup terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu, dalam konteks sekarang ritual haji dijadikan kedok atau proses pencitraan untuk memuluskan kepentingan-kepentingan pribadi. Tak terkecuali fenomena haji telah merambah menjadi life staly manusia dizaman modern ini.

Haji ditengah kemiskinan
Prespektif semacam ini, selayaknya dihindarioleh kaum muslim. Artinya .Ibadah haji sebagai suatu perjalanan suci untuk menghadap Tuhan, menemui dan mendekatkan diri kepada-Nya, memohon pengampunan dan rahmat-Nya, sebagai suatu kewajiban setiap Muslim sekali dalam hidupnya. Bagi yang tidak mampu boleh tidak melaksanakan. Akan tetapi, yang sengaja tidak mau melakukan meskipun mampu, adalah kufur dalam perbuatan." (Q.S. 3 97). Jadi, ketika eoforia  merebaknya haji sebagai ajang  pencitraan dan bertamasya sudah keluar dari jalur.

Oleh karena itu, menurut Supardiyanto (2009),  Ibadah haji tidak lain menjadi bagian ibadah wajib yang dikerjakan dalam kerangka mengangkat harkat-martabat orang-orang fakir-miskin yang membutuhkan uluran tangan. Pandangan baru inilah yang seharusnya ditancapkan bangsa dalam menerjemahkan perintah haji. Ibadah haji tidak hanya terkait dengan kesiapan personal, individual, dan internal. 

*Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISHUM UIN Kaljiga Yogyakarta

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.