Oleh Taufiqurrahman SN
Berbicara mengenai hak anak di Indonesia , rasanya masih jauh panggang dari api. Betapa tidak. Hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan masih menggantung. Sebaliknya, kekerasan dan pemasungan hak anak sering terlihat secara kontras dalam kehidupan masyarakat. Hal inilah yang menjadi sorotan penting dalam peringatan hari anak nasional yang jatuh setiap tanggal 23 juli. Momentum kali ini juga sangat tepat sebagai bahan refleksi-kritis terhadap nasib anak bangsa kedepan. Bagaimana masa depan bangsa ini, jika generasinya sejak dini sudah terlunta-lunta dan hak-hak mereka terpasung oleh kekerasan, pencabulan dan ketidakadilan.
Sungguh ironis memang. Tindak-tindak kekerasan dan perbuatan asusila yang ditampilkan secara kontras di berbagai media massa maupun elektronik juga sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak. Kita masih ingat kekerasan yang dilakukan bocah belasan tahun kepada temannya sendiri hingga meninggal hanya gara-gara meniru aksi kekerasan di salah satu acara stasiun televisi nasional. Dan akhir-akhir ini pola pikir anak terganggu oleh adanya video mesum artis ibu kota yang sudah tersebar diberbagai media. Fenomena ini sedikit banyak akan memperngaruhi perilaku anak. Sehingga langkah kongkit dari berbagai pihak tidak dapat dinafikan.
Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, pengajar di Fakultas Psikologi UI pernah mengatakan bahwa fase anak-anak adalah fase meniru. Tak heran bila anak-anak sering disebut imitator ulung. Oleh karena itu, fase pertumbuhann anak harus berada dalam pengawasan orang tua secara ketat terhadap berbagai fenomena sosial terutama dari kekerasan media. Kekerasan media –yang dimaksuk penulis-adalah tayangan yang sifatnya tidak mendidik bahkan dapat dibilang meracuni pola pikir anak. Seperti aksi kekerasan, tindak kriminal dan kasus-kasus pornografi yang ditayangkan secara global.
Kalau rajin memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan kekerasan itu besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar kekerasan. Ambil contoh film asia jacky chan, jet lie dan sebangsanya. Kekerasan digunakan sebagai objek eksploitasi dalam berbagai cara dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program itu.
Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang terutama bikin “kecanduan” ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan.
Kekerasan dan pornografi yang ditayangkan di berbagai media, utamanya televisi tak hanya muncul dalam iklan, film lepas, film kartun, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. Televisi swasta di Indonesia terkadang lebih “kejam” dalam menggambarkan korban kriminal, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban.
Hal ini menunjukkan bahwa kerkerasan media yang selama ini tersembunyi dari pengetahuan masyarakat umum perlu adanya revitalisasi penyiaran media terhadap masyarakat secara holistik. Fenomena itu menggambarkan bahwa orang tua jangan hanya terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual belaka, misalnya ciuman atua sejenisnya. Adegan kekerasan, mulai tembakan, peperangan,tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah, tawuran perlu juga disensor. Hal ini rentan terhadap pola pikir dan perilaku seorang anak.
Peran media
Media sebagai alat paling ampuh dalam mempengaruhi kultur dan perilaku masyarakat, menjadi sangat penting untuk memberikan tayangan yang sifatnya mendidik. Bukan sebaliknya, media malah sering mengekspos berita-berita kekerasan dan kriminal secara besar-besaran. Hal inilah yang sering di kecewakan berbagai kalangan masyarakat baik organisasi kemasyarakatan (ormas), lembaga swadaya masyarakat maupun praktisi-praktisi sosial .
Dari kekecewaan diatas dharapkan peran media kedepan, pertama harus lebih proaktif dalam memberikan tanyangan yang berkualitas, sekaligus bisa memberikan pemahaman tentang sosialisasi materi perlindungan anak kepada masyarakat. Media massa merupakan ajang yang strategis untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat bagaimana mengelola dampak dan cara membatasi praktek kekerasan. Agar memberikan efek jera dan perlu adanya tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan pada anak. Tetapi anehnya aparat penegak hukum sendiri masih sering belum paham bahwa terdapat UU Perlindungan Anak sehingga kasus-kasus yang menyangkut anak masih sering diproses dengan KUHP. Padahal implikasi penerapan UU Perlindungan Anak amat positif dalam rangka membatasi kekerasan pada anak.
Kedua, media dapat berperan sebagai sumber rujukan di bidang pendidikan dan penyebaran informasi yang cepat dan akurat. Dalam hal ini, media dapat menambah tingkat pengetahuan sekaligus membentuk sikap dan norma sosial suatu masyarakat. Oleh karena itu, sekarang media memiliki andil penting dalam mengajak masyarakat untuk memerangi kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan pada anak dan tindak kriminalitas. Maka, disisni media di tuntut untuk dapat menciptakan watak serta karakter bangsa (Nation Character Building ) yang pada akhirnya membangun sebuah peradaban ditengah-tengah masyarakat. Artinya, media sangat erat kaitannya dengan kemajuan dan peradaban suatu bangsa. Sehingga tayangan edukatif dan bebas dari unsur negatif (kekerasan dan pornografi) sarat dengan maju atau tidaknya generasi bangsa kedepan.
Penulis adalah peneliti The hasyim Institute Yogyakarta