Potret Pers Orde Baru


Oleh Taufiqurrahman SN
Keberadaan pers tidak dapat dipisahkan di negara yang menganut sistem demokrasi. Pers menjadi pilar keempat (the fourth estate) setelah eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Ia selalu menjadi aras struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya dari adanya represi kekuasaan.

Sebagai pilar keempat pers diharapkan memiliki kekuataan determinan dalam memberikan bangunan ruang publik yang efektif untuk membangun masyarakat demokratis. Dengan kata lain, pers memiliki fungsi sebagai penyeimbangan (balance) dan kontrol terhadap kekuatan negara yang kadang kelewat batas.

Sehingga, idealnya pers harus bersih dari segala macam kepentingan politik (independen) maupun intervensi negara. Eksistensi seperti inilah yang diidam-idamkan masyarakat Demokratis..

Indonesia sebagai negara penganut sistem demokrasi juga memiliki cita-cita pers yang ideal seperti diatas. Namun cita-cita agung itu sama sekali “tak terlihat” pada masa Orse Baru (Orba). Dimana pers otoriter lahir dengan ditandai lebih dominannya kekuatan negara. Sehingga pers menjadi segmen aparatus negara untuk memperlicin kepentingan dan kestabilan kekuasaan.

Oleh karena itu, maka tidak heran apabila pemerintah Orba sering melakukan pembredelan paksa terhadap media-media cetak yang dianggap kritis dan selingkuh terhadap komunis.

Buku bertajuk  Pers Orba: Tinjauan Isi Kompas Dan Suara Karya ini hadir dalam rangka membidik kembali dinamaika historis pers di masa keemasan Orba. Melalui bingkai isi harian Kompas dan Suara Karya dan diperkuat dengan pendekatan ilmu sosial dan etika, Rizal berusaha menelanjangi kembali sistem politik Orba dalam mempermainkan pers dan bagaimana pers menyiasatinya?.

Kemudia timbul pertanyaan, mengapa Kompas dan Suara Karya yang dijadikan standardisasi Rizal dalam menelanjangi represi Orba atas Pers. Menurutnya Kompas dijadikan sampel untuk mewakili  pers yang tumbuh dan dibesarkan oleh menguatnya kapitalisme. Sementara Suara Karya adalah wakil dari pers yang lahir dan bertahan dari kepentingan-kepentingan negara (birokasi) yang cenderung bersifat praksis (hal: 9).

Lain lagi dengan Ashadi Siregar, menurutnya kedua media itu memiliki kriteria dan citra yang khas. Kompas yang lahir pada tahun 1965 berdasarkan legitimasi pemerintah orde lama dan ia menjadi organisasi resmi partai katolik yang dibopong oleh kelompok minoritas. Meskipun begitu Kompas mampu menyandang sebagai koran dengan oplah terbesar di Indonesia. Sebaliknya, Suara Karya yang muncul tahun 1971 pada era konsolidasi Orba sebagai organisasi resmi dari Partai Golongan Karya (Golkar), yang selalu memenangkan suara saat pemilihan umun, tapi oplahnya masih dibawah Kompas. Bahkan dikalangan pengkaji media mempunyai lelucon bahwa Kompas adalah koran minoritas untuk mayoritas. Suara Karya koran mayoritas tapi untuk minoritas. (hal: xv).

Pada pertengahan tahun 1980 kehidupan pers sudah masuk dalam ruang industrialisasi. Begitu juga yang dialami Kompas dan Suara Karya. melalui eksplorasi tajuk rencana dan berita utama dapat menentukan eksistensi dan arah orientasi media cetak yang bersangkutan. Kompas berkembang sangat erat berhubungan dengan proses ekonomi. Sedangkan Suara Karya lebih dipengeruhi oleh proses politik. 

Sistem Politik Orba tidak hanya berkutat pada kekuasaan an sich. Tapi politik bahasa yang digunakan pemerintah orba untuk eufemisme (penghalusan makna) sangat kuat. Sehingga kejadian atau keadaan yang sebenarnya tak tampak nyata. Hal ini tak lain adalah politik untuk menutupi borok kepemimpinan Orba. Kosakata yang sering digunakan saat itu misalnya desa tertinggal untuk menyebut desa miskin,. Rawan pangan untuk menyebut kekeringan dan kelaparan. Diamankan untuk penculikan. Seseorang bisa saja diamankan dan ia sebetulnya tidak menjadi aman mungkin pulang babak belur atau bahkan pulang tinggal nama. (sirikit Syah; 2011).

Akhirnya, buku tipis yang diangkat dari skripsi ini, mengajak kita untuk menemukan prespektif baru mengenai perkembangan pers di Indonesia. pers Orba memotret kembali bagaimana kekejaman Orba dalam memasung kebebasan pers, bagaimana jatuh bangunnya pers agar tetap eksis dan bagaimana orientasi pers sarat dengan pengaruh sistem sosial politik saat itu.

Dus, dalam konteks kekinian, setelah kran kebebasan terbuka lebar kita dihadapkan permasalahan baru yakni “kebebasan yang keblabasan” dan represi penguasa modal. Inilah sebenarnya tantangan para insan pers dalam merefleksikan kembali idealisme pers sebagaimana di masa Orba.

Penulis             : Rizal Mallarangeng
Judul                : Pers Orba: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya
Penerbit            : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan             : September, 2010
Tebal                : xxvi +155 halaman


*Peresensi adalah Peneliti Humaniora Park FISHUM UIN Kalijaga Yogyakarta

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.