Gus Zainal, Kesederhanan dan Kemandirian

Oleh Taufiqurrahman SN

Banyak orang menganggap mati muda adalah suatu bentuk nasib kurang baik atau kesialan hidup. Karena belum sepenuhnya menikmati kehidupan yang dinilai masih panjang dan berliku. Tetapi presepsi mayoritas tersebut bertolak belakang dengan pemikiran seorang filsuf Yunani yang mengatakan bahwa nasib terbaik manusia adalah tidak dilahirkan,  kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan tersial adalah umur tua sekaligus mati tua. Jadi Bahagialah bagi mereka yang mati muda,” tulis Shoe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran.

Ungkapan diatas kiranya relevan untuk mengenang wafatnya kiai muda Zainal Arifin Thoha. Tepat tanggal 14 maret 2007, beliau dipanggil ke rahmatullah secara mengejutkan. Semua kerabat dekanya hampir tidak menyangka, bahwa beliau telah mendahului mereka tanpa meninggalkan isyarat apapun. Sebelumnya, keadaan beliau normal seperti hari-hari biasa. Tetapi Sehabis sholat isya` beliau merasa pusing secara tiba-tiba. Keadaan ini dianggapnya sebagai sakit kepala biasa. Dari sanalah keadalan Gus Zainal mulai tidak stabil, lantas beliau dilarikan kerumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, tetapi dalam perjalanan beliau sudah tutup usia dahulu. Ternyata  dari keterangan dokter beliau meninggal akibat serangan jangtung secara mendadak. Akhirnya, beliau dimakamkan di desa kelahiran Kediri dengan berbagai pertimbangan.

Selama hidupnya, Gus Zainal telah menorehkan prestasi luar biasa, terutama dalam ranah kepenulisan, akademik maupun sosial. Dalam kehidupan sehari-hari beliau bersama istri dan ke-empat putranya (sekarang lima), menjalani hidup dengan amat sederhana, meskipun kalau dari faktor orang tua (Kediri) dapat dikatakan tergolong dalam keluarga mampu.  Namun Demi merealisasikan pesan dari Al Qur’an maupun AL Hadist, beliau rela tidak makan selama hampir satu minggu. Hal demikian adalah bukti bahwa beliau mencoba merasakan kesengsaraan orang disekitar kita yang mempunyai nasib demikian. 

Beliau dikenal bukan hanya sebagai kiai berwibawa akan tetapi  juga banyak yang mengenal belaiu sebagai sastrawan maupun seniman muda. Cerpen-cerpen beliau mempunyai ciri-ciri tersendiri dari pada cerpenis-cerpenis lainnya. Karya-karya beliau kebanyakan bersifat mengandung unsur keagamaan. Tak lain karena sejak kecil beliau hidup di kalangan pesantren yang sangat kental nuansa agamanya. kita akan merasakan hal itu ketika membaca cerpen-cerpennya. seperti Kanjeng Sunan, Mbah Wo Ethek, Mbah Wo Juki,  Kiai Anom, Kiai Wangi, Mbah Imam, Mbah Bilal, Mbah Kiai Fa’ala, Piaraan Kiai Hamid, dan cerpen terakhir Pertemuan Mistis

Dua pesan
Sebenarnya dalam mengenang hari wafatnya Gus Zainal ke-3 ini, kita dapat mengambil dua pesan. Pertama, ghairah pengarungan keilmuan dan kepenulisan beliau yang sangat mempesona. Terbukti dari tercecernya karya-karya beliau yang dipublikasikan didunia akademik maupun di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Kehendak beliau mewujudkan pesantren berbasis kepenulisan, Alhamdulillah telah terealisasikan (2003) dengan nama PPM. Hasyim asyari atau lembaga kajian KUTUB. Lembaga ini bukan hanya mengkaji keilmuan keagamaan (kitab klasik), tetapi juga mengkaji keilmuan yang bersifat akademik dan kesusastraan.

Pesantren yang dimotori Gus Zainal dan Dr Zawawi Imron (Madura) ini, mempunyai tiga Visi, yakni “Spiritualitas, Intelektualitas dan Profesionalitas”. Dalam menggodok santri-santri beliau, Gus Zainal selalu menekankan ungkapan Imam ghozali bahwa “jika kamu bukan anak raja dan bukan keturun darah biru maka jadilah penulis”. Menulis bukan hanya dijadikan tempat untuk memenuhi kebutuhan akademik, tetapi menulis adalah sarana untuk berdakwah dan dengan menulis seseorang akan menemukan jatii dirinya .
Dari bimbingan Gus Zainal inilah, lahir para penulis muda berbakat. Seperti  Muhammadun AS,  Salman Rusydie Anwar, Gugun el-Guyanie, Ahmad Mukhlish Amrin M. Yunus BS, Bernando J. Sujibto, dan masih banyak lagi generasi penerusnya.
Obsesi Gus Zainal juga diwujudkan dalam kegiatan kampanye kepenulisan ke berbagai pesantren. Gus Zainal sering mengadakan touring ke berbagai pesantren yang tersebar hampir di sejumlah kota di Jawa Timur bersama Ahmad Tohari, Evi Idawati, Cak Munif, dan para santri beliau. Dengan kesadaran penuh, Gus Zainal merekam seluruh proses kreatif kepenulisannya dalam buku Aku Menulis Maka Aku Ada (2005).

Bisa dikata, buku itu adalah manifesto penting Gus Zainal dalam menggelorakan potensi menulis disetiap diri manusia. Dalam buku itu, Gus Zainal memaparkar dengan gamblang kenapa beliau harus menulis, bagi Gus Zainal, tulisan itu abadi, sementara lisan cepat berlalu bersama derai angin (scripta manent verba volant). Tapi yang paling inti, semua yang dilakukan Gus Zainal adalah untuk mengangkat citra pesantren agar tidak lagi dianggap sebagai lembaga konservatif yang hanya mengurusi dunia akhirat. Hal ini yang sebenarnya diresahkan Gus Zainal dalam buku Runtuhnya Singgasana Kiai (2003).

Kedua, hal mendasar yang menjadi pijakan adalah  sifat kesederhanaan dan kemandirian beliau. Praksis, dalam setiap pertemuan beliau terus mencontohkan untuk bersifat sederhana dalam keadaan apapun baik ketika  miskin mapun kaya. Sebab boros adalah sebagian dari sifat Syaitan sekaligus berdampak negatif bagi kehidupan. Dalam mendidik santri beliau selalu membatasi pengiriman uang dari orang tua selama maksimal tiga bulan. Sebagai bukti bahwa setelah baligh kita tidak mempunyai hak untuk meminta kepada orang tua, jadi kita harus menghidupi diri kita sendiri untuk selalu mandiri dan sederhana.

Meskipun mantan dosen UIN kalijaga Yogyakarta (dulu: IAIN) ini, meninggal dalam usia masih muda, 35 tahun, tetapi warisan jejak kearifan dan keteladanan yang mulia beliau tetap mengalir sampai sekarang. Tradisi kepenulisan beliau harus terus kita lestarikan dan gelorakan. Menginagat tradisi menulis semakin hari semakin surut. Itulah secuil wasiat yang dapat kita ambil dari peringatan hari wafatnya Gus Zanal arifin Thoha, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama dan lingkunganya.

Penulis adalah santri Almahrum Zaenal Arifin Thoha

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.