Oleh Taufiqurrahman SN
Salah satu orang yang paling berpengaruh terhadap sejarah kemerdekaan Indonesia adalah Ir Soekarno. Bertepatan dengan hari kelahiran yang ke-109 terhitung dari 6 juni 1901 di Blitar, Jawa Timur. Sekiranya patut kita refleksikan perjuangan dan kegigihan beliau dalam membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme. Setelah 64 tahun Indonesia merdeka berkat jasa-jasa beliau, kemudian bagaimana reaksi Soekarno jika seumpama masih diberi nafas samapai sekarang untuk menyaksikan buah dari perjuangannya, apakah beliau bangga atau malah sebaliknya?
Dalam diri Soekarno banyak pelajaran yang dapat dijadikan titik bijak dalam menyiasati pelbagai permasalahan bangsa saat ini. Sumbangan atau warisan sejak Soekarno kecil sampai akhirnya tutup usia pada umur 40 tahun, perlu digali kembali. Ajaran pokok yang kentara dan sampai saat ini masih terekam jelas dibenak masyarakat baik kalangan tua atau genersi muda adalah semangat persautuan dan kesatuan bangsa.
Hampir seluruh hidup Soekarno dipersembahkan untuk negara Indonesia. Kenyataan ini diperkuat ketika tokoh ploklamor ini memberikan sambutan pada sidang kabinet 15 Januari 1966 di Istana Merdeka, bekiau mengungkapkan “Aku ini dari kecil mula…yang menjadi gandrung saya bahkan yang saya derita untuknya, yang saya dimasukkan dalam penjara untuknya, yang saya dibuang di dalam pembuangan untuknya, bahkan pernah yang saya hampir-hampir saja didrel mati di Brastagi…untuk bangsa, Tanah Air, kemerdekaan dan negara…. Bangsa harus menjadi bangsa yang kuat dan besar. Oleh karena itulah belakangan ini selalu saya menangis, bahkan donder-donder, marah-marah. He, bangsa Indonesia, jangan gontok-gontokan!”.
Betapa menggebunya semangat nasionalisme Soekarno dalam meperjuangankan hak bangsa Indonesia. Tanpa persatuan, lanjut Soekarno suatu bangsa mustahil bisa maju membangun dirinya. Dalam konteks kekinian, semangat persatuan maupun nasionalisme sangat vital dimiliki bangsa ini, pasalnya, negara kita merindukan komitmen bersama dalam memujudkan dan menegakkan semangat integratif serta untuk memperbaiki atau memulihkan kondisi moril kebangsaan yang sedang rapuh.
Disintegritas
sangat ironis sekali jika kita mengenang 109 (Soekarno lahir 6 Juni 1901) kelahiran presiden pertama ini, ketika dibenturkan dengan kemunduran (disintegrasi sosial) dari generasi ke generasi selanjutnya. Faktor pokoknya karena bangsa ini hidup dalam situasi anomali atau valueless state. Di satu sisi kita sudah melalaikan Pancasila sebagai dasar pedoman dan pandangan hidup, walau secara teoritis kita masih mengakuinya sebagai ideologi, tetapi di sisi lain nilai dan pengamalannya masih jauh panggang dari api.
Disintegritas mulai tumbuh tak kala Ir Soekarno “memberikan wangsit” Supersemar kepada Jenderal Soeharto, diktum utamanya antara lain berbunyi “melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”. Namun, dalam kenyataanya Soeharto dengan bantuan para pemikir dari “Mafia Berkeley”, berusaha menghapus jauh-jauh idealisme Soekarno yang terbalut dalam ajaran “Trisakti” dari ingatan bangsa Indonesia. Sedangkan dalam kepemimpinan yang otoriter, Soeharto lebih condong pada liberalisme pembangunan ekonomi. Akibatnya, semakin lama membangun dirinya, bangsa kita semakin bergantung pada utang luar negeri, inilah suatu realita yang nyata-nyata telah mencederai amanat Trisakti.
Pada era B.J Habibie pun , ajaran persatuan Indonesia mulai digerogoti. Hal ini bermula dari kesalahan Habibie dalam memberlakukan konsep otonomi daerah yang keblabasan. Menurut teori negara, dalam suatu unitary state (negara kesatuan), kekuasaan atau kewenangan kepada daerah sepenuhnya diatur oleh pemerintah pusat. Dari otonomi inilah akhirnya nasionalisme berubah menjadi reginionalisme. Sehingga dalam kepemimpinan Habibie, banyak meninggalkan luka, salah atunya adalah hilangnya Timor-Timor dari genggaman Indonesia.
Keterasingan nilai-nilai persaatuan seolah mencapai puncaknya pada era Gus Dur. Dengan diberlakukannya Nama Irian Jaya diganti menjadi Papua, Istilah “rakyat Aceh”, “rakyat Riau”, “rakyat Kalimantan Timur”, dan “rakyat Madura” tanpa menyadari berdampak negatif terhadap nilai keadilan dan berakibat kepada kecemburuan sosial.
Ironisnya lagi, Megawati Soekanoputri pun sebenarnya telah mengingkari amanat sang bapaknya sendiri. Adalah sikapnya yang mendukung amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan naungan “UUD 2002″, Indonesia sesungguhnya bukan lagi negara kesatuan, tetapi quasi negara federal. Akibatnya, sebagian besar perusahaan unggulan kita, baik swasta mupun BUMN, kini sudah dikuasai asing.
Sementara dalam pemerintahan susilo bambang Yudhoyono (SBY) jilid I dan II ini, proses transformasi ajaran-ajaran Soekarno belum menemukan titik terang bahkan sebaliknya. Ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang enggan pergi dari moral bangsa, penegakan hukum yang masih lemah, terorosme dan separatisme, makrus pajak dan mafia peradilan yang sedangkan gencar-gencarnya, bahkan Laode Ida menilai negara kita adalah negara mafia. Sungguh ironis bangsa ini, padahal sejarah sebagai pelajaran dari kejadian masa lampu seharusnya menjadi tolak ukur pemerintah dalam menahkodai negara ini.
Benar juga ungkapan bahwa ”sejarah tidak memberikan pelajaran apa-apa, kitalah yang belajar daripadanya” (Abdullah, 2001). Suatu peringatan momentum sejarah, seperti hari kelahiran Soekarno atau momentum hari-hari sejarah lainnya, jika tidak bisa mendatangkan pelajaran daripadanya, apa gunanya, kecuali hanya menghambur-hamburkan ongkos yang tidak sedikit. Maka, kita harus berusaha menyelamami dan mengambil pelajaran darinya. Artinya jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang pernah terjdii di masa silam.
Semoga Momentum kelahiran poklamator Ir Soekarno kali ini tidak sekedar seremonidan nostalgia belaka tetapi juga mesti menjadi sumber inspirasi bagi perjuangan bangsa selanjutnya. Semoga!.
Penulis adalah Peneliti The Hasyim Institute Yogyakarta