NU dan Masayarakat “Civil Society”


Oleh Taufiqurrahman SN

Pada Senin 31 Januari 2011, Nahdlatul Ulama’ (NU), genap berusia 85 tahun. Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 di Surabaya oleh KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan sederet kiai kenamaan lainnya. NU, sesuai dengan namanya merupakan kebangkitan para ulama' [intelektual] yang berperan sangat penting dalam membuka cakrawala baru pemahaman kekuatan ummat ketika itu, baik kekuatan kultural maupun kekuatan struktural. Kekuatan kultural yang dimilki NU dimanifestasikan secara langsung oleh ikatan erat antar kiai pesantren. Karena kita tahu, bahwa pesantren adalah tonggak kelahiran  NU sebagai (wadah) pelembagaan dalam merespon kehidupan sosial secara komprehensif. Oleh karena itu, kekuatan NU secara kultural mempunyai peran yang sangat luar biasa, baik dalam rangka pencerdasan anak bangsa, pembentukan akhlak manusia, dan wahana menggalang konsolidasi intern umat NU dalam membangun dan menancapkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kenegaraan.
Sementara secara struktural, sejak kelahirannya NU, telah mempunyai andil cukup signifikan di negeri ini. Dibuktikan dengan para pemimpin PBNU baik yang syuriah maupun tanfidiyah, selalu menjadi pemimpin organisasi keislaman dilingkungan kebangsaan dan kenegaraan. KH Hasayim Asy’ari dalam kepengurusan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) ditunjuk sebagai pengurus tertinggi ketika itu. Tidak hanya itu dalam kepengurusan Partai Masyumi, KH Hasyim Asyari juga di tunjuk sebagai dewan Syuro.
Pada saat bersamaan panggung politik bangsa ini diwarnai sederet ulama' kreatif semisal KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, KH Wahid Hasyim, KH Masykur, KH Saifuddin Zuhri, KH Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya. Sementara pada tahun 80-an  KH As'ad Syamsul Arifin, KH Ahmad Siddiq, dan KH Ali Ma'sum kembali lagi membawa NU terjun keperhelatan drama politik bangsa. Dan puncaknya di era reformasi bergulir, NU kembali tampil digarda depan, yang dibuktikan dengan kehadiran  KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai pemimpin bangsa ini.
Peran kesejahteraan lewat panggung politik praktis yang digulirkan NU tahun 1952 pada Muktamar di Palembang, justru melahirkan permasalah baru baik secara kultural maupun struktural. Peran kultural NU sebagai pencerdasan anak bangsa, dan pemulihan martabat manusia menjadi terabaikan dan terlantarkan. Peran KH Hasyim Asy'ari ketika menjadi pemimpin tertinggi dalam Partai Masyumi ternyata perannya mandul dan tak berfungi apa-apa. Pada tahun  1973 ketika NU berfusi dengan PPP, bukannya membaik justru telah menelantarkan agenda-agenda sosial kemasyarakatan yang telah dicanangkan tahun 1926.
Hal ini menyulut para kiai  kharismatik dan para kader muda NU untuk merumuskan kembali agenda sosial kemasyarakatan yang dikenal dengan “khittah 1926” pada  Muktamar NU di Situbondo. Agenda agung inilah yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman warga NU untuk mengembangkan peran NU yang menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat dibidang sosial, pendidikan, budaya, dan pembelajaran poltik kebangsaan.
Namun lagi-lagi godaan politik mampu membobol benteng pertahanan NU sebagai organisasi moderat. NU pada tahun 1999 dan sampai sekarang masih terkontaminasi pada politik praktis. NU belum mampu secara utuh keluar dari godaan politik untuk maju memberdayakan masyarakat secara holistik dan komprehensif.  Karena NU masih digunakan sebagai kendaraan politik oleh para kader-kadernya. Inilah sesungguhnya koreksi dan permasalahan klasik mengapa NU kurang berkembang.
Menuju masyarakat “civil society”
Dalam momentum harlahnya ke-85  sekarang ini, potret buram sejarah perjuangan NU perlu kita renungkan kembali. Khittah '26 yang dirumuskan di Situbondo sebagai penguatan atas civil society jangan hanya menjadi perdebatan diberbagai media massa dan seminar an sich. sehingga wajah NU terkesan sebagai wajah perdebatan tanpa substansi yang berarti. Untuk itu, yang mendesak untuk dilakukan NU adalah pertama, penguatan kekuatan "civil society" yang telah dirumuskan harus diteguhkan dan disosialisasikan kembali untuk menempatkan NU sebagaimana agenda semula.
Kedua, Konsep "Civil Society" yang telah terbangun selama ini ternyata sudah cukup ampuh membawa NU secara kritis-transformatif. Civil society yang becirikan dengan kehidupan yang terorganisir, kesukarealaan (tanpa ada intervensi) dan keswasembadaan merupakan modal awal NU sebagai organisasi keagamaan yang bersifat inklusif. Konsep ini diperkuat dengan ruang lingkup NU pada akar rumput (grass root), sehingga transformasi konsep "civil society" dalam NU sungguh sangat efektif sekali. Karena pendekatan sosial budaya dengan masyarakat akar rumput, akan menjadikan NU mudah bekerjasama dalam melakukan dialog terbuka dengan semua kalangan, yang memiliki potensi terhadap permasalahan dasar yang yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, atau yang akan datang.
Pendekatan yang dilakukan NU akan mudah diterima dikalangan masyrakat karena; pertama, NU tidak membatasi diri dengan persoalan NU an sich, tetapi menyangkup hingga kepentingan bangsa keseluruhan; kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensi bagi sebuah masyarakat sipil yang mandiri kini telah menjadi komitmen utama perjuangannya, sebagaiman konsep Khittah 26; ketiga, NU pasca khittah sudah bertekad menitik beratkan pada pemberdayaan masyarakat dan memperkuat kemandirian organisasi ( Bahrul Ulum; 2002).
 

Penulis adalah Kader Muda NU Tinggal di Bantul Yogyakarta

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.