Oleh Taufiqurraman SN
Secara historis, lembaga Nahdlatul Ulama (NU) lahir di tengah-tengah kondisi sosial yang dapat dibilang memprihatinkan. Ketidak tentraman dan morat-maritya bangsa kala itu akibat ganasnya kaum kolonial yang menyebabkan segmen tatanan masyarakat hamburadul. Baik dari ranah politik, ekonomi pendidikan maupun budaya. Tidak hanya itu segala sumber daya alam yang menjadi penggerak poros perekonomian bangsa pun di eksploitasi secara masif tanpa menyisakan sedikitpun pada bangsa ini. Demikian pula dengan masa depan pendidikan kita. Berangkat dari fenomena itulah, kemudian lembaga yang dimotri oleh KH. Hasyim Asy’ari lahir, pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai organisasi masyarakat (ormas) islam yang mengusung prinsip-prinsip dasar seperti tawasun (seimbang), tawassut (moderat) dan al-adalah (adil).
NU lahir sebagai gerakan dakwah yang berafiliasi di wilayah pedesaan (tradisional), dan kemudian dijastis sebagian golongan atau gerakan dakwah kultural. Sehingga gerak perjalanan NU semata-mata dilatarbelakangi oleh kondisi sosial masyarakat kala itu yang bercorak tradisional agraris atau dalam bahasanya filosof prancis Jean Baudrilllard dalam kondisi primitiff. Prinsip moderat yang diusung NU tidak hanya bertujuan untuk menengahi perbedan-perbedaan paham keagamaan maupun paham yang cukup panas saat itu, tetapi juga untuk menciptakan kearifan universal dalam menyikapi segala problematika sosial yang terjadi.
Demikian juga dengan prinsip-prinsip yang dikedepankan NU, yakni menciptakaan keseimbangan dan kesetraan sosial. Dalam rangka menghilangkan kesenjangan sosial antar kaum elite dengan rakyat rendah, seperti saat ini yang sering dipamerkan para birokrat kita.
Prinsip mendasar yang dikedepankan NU yang realis untuk saat ini adalah tentang prinsip keadilan. Keadilan merupakan prinsip vital dalam mencapai kemaslahatan. Apabila prinsip ini telah pudar dan semakin jauh dari kehidupan manusia, maka yang terjadi adalah ketimpangan sosial. Terbukti dengan berbagai adekan yang menghiasi wacana kita akhir-akhir ini. Muali dari kasus mbah Minah, yang gara-gara mengambil tiga buah kakau yang hanya seharga puluhan ribu saja mengharuskan dirinya mendapatkan denda dan proses hukum secara berlebihan. Sementara para koruptor dengan leluasa bergerak mencuri uang rakyat maupun Negara bermilyar-milyar tanpa perasaan bersalah.
Untuk itu, pilihan jalur dakwah NU di atas semata-mata sebagai strategi pendekatan terhadap masyarakat mayoritas berdasarkan tuntutan kondisi dan realitas yang sedang berlangsung. Ini penting sebagai langkah mewujukan cita-cita para pencetusnya. Meskipun begitu perlu dingat bahwa jangan sampai lembaga NU ini terkena sihir dengan prestasi yang ‘itu-itu saja’ tetapi semakin bertambahnya umur juga harus diimbangi dengan kemajuan. jangan sampai stagnan apalagi kemunduran.
Dari awal NU begitu sensitif melihat perkembangan masyarakat yang tidak seimbang. Di bidang pendidikan misalnya, masyarakat periferal (pedesaan) jauh tertinggal dari masyarakat perkotaan yang nota bene dihuni kelompok masyarakat borjuis. Tingkat perkembangan pendidikan masyarakat perkotaan relatif lebih maju karena didukung oleh fasilitas yang lebih memadai. Ketidakseimbangan inilah yang mendorong NU untuk tetap melakukan pendampingan dengan berbagi macam cara. Umpamanya lewat lembaga-lembaga pesantren, NU kemudian memantapkan posisi sebagai ormas yang benar-benar pro rakyat bawah. Hali inilah yang dibela matia-matian oleh almahrum Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil (Gusdur).
Tantangan
Hingga saat ini, pilihan jalur dakwah ini tetap dipertahankan. Jalur kultural atau tradisional ini tampaknya telah mengideologi bagi NU. Persoalannya, di era yang serba modern ini, mungkinkah jalur dan sistem tersebut patut dipertahankan? Tentu saja mungkin. Namun melihat semakin ganasnya tantangan globalisai kedepan, NU tampaknya tidak cukup hanya berdiri di garis periferal, akan tetapi harus bisa membuka kran kedewasaan, dan ikut bersaing merebut alat-alat produksi yang sampai saat ini masih dipegang kalangan modernis. Apalagi dengan di legalkan pasar bebas sejak awal Januari kemarin itu adalah identifikasi bahwa NU harus lebih dewasa menyingkapi hal ini.
Pertama, dalam sektor pendidikan misalnya, NU akan kesulitan mengejar ketertinggalannya jika hanya menggunakan sistem pendidikan berbasis kepesantrenan, tanpa membuka lembaga-lembaga pendidikan umum. Terutama untuk menunjang tingkat pendidikan yang lebih tinggi, NU semestinya juga membangun Perguruan Tinggi (PT) umum di wilayah perkotaan. Sebab, sangat ironis jika mengharapkan daya kompetensi yang tinggi tanpa didukung oleh sarana-prasarana atau lembaga-lembaga yang tinggi pula secara kualitas. Karena selama ini, NU belum memiliki PT yang memadai, terutama PT yang konsen di bidang umum.
Kedua, pengembangan ekonomi kemasyarakatan yang hanya dilakukan lewat BPM-BPM (Badan Pengembangan Masyarakat) tidak akan mampu mendongkrak tingkat kemiskinan bangsa ini, jika tanpa adanya upaya untuk menyediakan lapangan kerja yang berafiliasi di wilayah-wilayah perkotaan. Ini penting dilakukan mengingat persaingan pasar global yang terus menekan perekonomian rakyat kecil.
Dengan demikian, NU-lah yang semestinya lebih berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka untuk keluar dari derita-derita yang mengungkung hidup mereka. Kita tahu, bahwa banyak diantara mereka yang memilih “menikmati” penyakit yang diderita dari pada harus berobat ke rumah sakit, hal ini disebabkan mahalnya biaya berobat. Kesehatan yang pada dasarnya mejadi hak setiap warga tampak begitu susah untuk didapatkan. Pemerintah sama sekali kurang sensitif terhadap fenomena semacam ini. Untuk itulah, dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosialnya (social responsibility) sebagai ormas berbasis masyarakat bawah, NU semestinya menyediakan sarana-sarana yang tepat, seperti rumah sakit dan ini penting sebagai pertimbangan pada muktamar ke-32 di Makasar mendatang.
Penulis adalah peneliti pada The Hasyim Institue Yogyakarta