Berkarya dengan Creative Writing


Oleh Taufiqurrahman SN*
Perkembangan dunia komunikasi, informasi dan media yang semakin ‘menggila’ menuntut kita untuk melahirkan karya-karya produktif, inovatif dan kreatif. Tanpa adanya itu, kita ibarat kayu yang dipermainkan arus sungai.  Kita hanya akan menjadi insan konsumtif tanpa daya kuasa untuk menolak.

Ada sedikit celah untuk kita masuki dalam membendung terpaan-terpaan arus globalisasi diatas. Yakni, melalui “dunia pena” sebagai wadah untuk menampung inspirasi, pemikiran dan apa saja mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan kehidupan pribadi. Dengan “dunia pena” kita mampu merdeka terhadap apapun, kita mempunyai jati diri ditengah lingkarang globalisasi dan kapitalisme.

Untuk medukung kemapanan “dunia pena” tersebut, diperlukan creative writing atau menulis kreatif sebagai amunisi guna mendukung kualitas karya kita. Teori ini masih barang langka di tengah masyarakat kita. Dalam lintasan sejarah kehidupan sastra di negeri ini, dari sejak zaman sastra lama, zaman pujangga baru, generasi ’45, generasi ’66 hingga detik ini, mengidentifikasikan bahwa para pengarang kita belum berkenalan dengan teori creative writing ini. Mereka terlahir sebagai pengarang atau pujangga dari pengalaman, belajar otodidak, tapi nihil teori.

Sementara itu, jika kita sedikit menengok pada sastrawan-sastrawati Eropa, Amerika Serikat, dan Australia pada umumnya telah menguasai dengan baik teori creative writing. Hal ini bukan tanpa dasar, terbukti dengan penghargaan nobel sastra, semisal Miguel Asturias, Gabriel Garcia Marquez, dan Mario Wargas Llosa.

Atas dasar inilah, Naning Pranoto menjadi yakin untuk menuliskan teori creative writing dalam sebuah buku yang berjudul 24 Jam Memahami Creative writing. Menurut Naning creative writing selalu menjadi kebutuhan mutlak orang yang haus ilmu pengetahuan dan seni. Kehidupan kaum intelelektual tidak bisa di sapeh dari khasanah tulisan kreatif. Juga mereka yang selalu ingin “membasuh jiwa” agar selalu segar dan mampu mencipta karya-karya yang akan dipersembahkan kepada masyarakat. (Hal. 17).

Menurut sejarahanya creative writing merupakan cabang ilmu yang usianya relatif tergolong muda. Lahir pada 1880 dan harus berjuang keras untuk menjadi ilmu pendukung eksistensi bahasa, tidak hanya itu ia dituntut untuk menyajikan wacana yang indah dan mudah dipahami. Padamulanya, creative writing hanya fokus pada penulisan fiksi yang dilakukan sang pengarang. Pengarang sebagai pelaku yang bertugas memasukkan dan menyusun kepaduan bahasa fiksi dengan  realitas. (Foucault, 1971).

Dalam perjalanannya, pada tahun, 1960an, berbagai Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi di Amerika menerima penulis creative writing sebagai professional, khususnya untuk memperkukuh eksistensi studi sastra dan karya-karya sastra itu sendiri. Bahkan ilmu ini disana dijadikan sebagai salah satu matakuliah dalam bidang bahasa dan sastra. (hal. 21).

Oleh karena itu, buku setebal 159 ini menjadi sangat urgen untuk memahami dan mempelajari bagaimana creative writing itu bekerja, dan bagaimana ia mengasah kepekaan kosakata dalam menggambarkan realitas. Sehingga tulisan kita tidak menjadi pesan yang tak berbekas, tapi menjadi tulisan yang abadi nan berbekas.

Semoga buku ini menjadi ispirasi bagi kita dalam menelorkan imajinasi dan pemikiran kreatif kita. Sudah saatnya kita bangun negeri ini dengan “dunia pena”. 

Judul Buku   : 24 Jam Memahami Creative writing
Penulis          : Naning Pranoto
Penerbit        : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan         : pertama, 2011
Tebal              : 159 halaman

*Peneliti The Humaniora Park; Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISHUM UIN Kaljiga Yogyakarta

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.