Meneguhkan Identitas Nasional

Oleh: Taufiqurrahman SN
Syaikh Ibnu Atthoillah dalam masterpiacenya, Al-hikam pernah mengatakan “Tancapkanlah dirimu kedasar bumi paling dalam karena sesuatu yang tumbuh tanpa di tanam maka tidak akan sempurna hasilnya.”
Ungkapan diatas merupakan sindiran kepada bangsa ini. Kita hanya mengedepankan eksistensi dan melalaikan hakekat atau inti dari apa yang selama ini kita peroleh. Hidup tenang, bekerja nyaman, tidur yenyak,, selama ini kita anggap aktivitas biasa-biasa saja, seperti air sungai yang mengalir. Padahal dibalik semua fasilitas dan kenyamanan hidup  tidak terlepas dari peran para nenek moyang bangsa ini yang kita sebut sebagai pahlawan.
Tepat pada 10 november 2010 ini, diperingati sebagai hari pahlawan. Lantas kemudian pertanyaan yang timbul adalah ada apa dengan hari pahlawan ini?. Pertanyaan seperti  ini sering muncul ditengah hiruk pikuk aktivitas masyarakat kita. Bahwa  hari pahlawan maupun hari nasional apapun bagi wong-cilik tidak ada perbedaannya. Kalau mereka tidak pergi kepasar, kesawah, atau bahkan pergi ketempat pembuangan sampah mereka dengan optimis tidak akan mendapatkan sesuap nasi.
Dilain pihak hari-hari besar atau tanggal-tanggal merah sangat dinantikan para kaum atas-birokrat  negara dari tingkat rendah sampai bertaraf elite birokrat.  Mereka tidak akan kecewa, justru merupakan bentuk yang dirindukan kehadirannya. Bahkan jauh hari mereka sudah mempersiapkan skedul liburan. karena mereka masih tetap mendapatkan gaji utuh.
Inilah sebenaranya tipikal mendasar yang selama ini kita kesampingkan. Sekilas fenomena seperti itu berjalan wajar, tanpa ada yang mengusiknnya. Maka dari itu, di hari yang berapi-api ini  kita mengkaji kembali apa hakekat (esensi) dari peringatan hari pahlawan ini, apakah sebagai rutinitas yang setiap tahun ada?, Atau hanya sebagai hari yang harus dihormati dengan laku ceremonial belaka?, atau bahkah bukan keduanya?.

Perjuangan
Sejarah perjuangan faunding fathers-kita demi kebahagiaan anak cucunya, perlu kita ulas secara istiqomah. Artinya, bukan hanya ketika peringatan hari-hari besar saja kita kampanye tentang nasionalime secara berlebihan dan selesai itu selesai pula semangat tersebut.
Jika kita kembali mengulas sejarah bahwa bangsa ini sesunggihnya adalah bangsa yang besar, bangsa yang kuat dan bangsa yang kaya. Dibuktikan dengan adanya kerajaan-kerajaan besar di sepanjang nusantara (red: Indonesia). Sekitar abad VII – XII kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan tumbuh berkembang. Kemudian disusul berdirinya kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada abad VII –XVI.  Kedua zaman inilah kita jadikan tonggak sejarah, karena waktu itu bangsa ini telah memenuhi syarat sebagai bangsa yang menghargai negara. Baik Sriwijaya maupun Majapahit merupakan kerajaan-kerajaan yang berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah jelas di nusantara. Sehingga pada masa kekuasaan itulah banyak ahli menafsirkan bahwa nusantara (Indonesia) sebagai negara yang gemah-ripah, loh-jinaw,i tata tentrem, kerta-raharja.
Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama rempah-rempahnya menjadi incaran bagi bangsa asing, karena mereka sangat membutuhkan. Hal ini menyebabkan bangsa asing berduyun-duyun, dengan paksa masuk ke daratan Indonesia. Seperti: Spanyol, Inggris dan Belanda. Dan belandalah yang memenangkan meja zamrud katulistiwa ini.
Masa penjajahan kaum kolonialis kita jadikan potret perjuangan bangsa Indonesia. sesungguhnya dalam mempertahankan bumi pertiwi dan cita-citanya. Karena apa yang dimiliki dan diagung-agungkan bangsa telah hilang. Kedaulatan negara hilang, persatuan dihancurkan dengan politik adu domba oleh Belanda, sehingga kemakmuran lenyap dan wilayah negara tercabik-cabik. Akhirnya selama berabad-abad bangsa ini hidup dalam kekangan, ketidak-nyamanan dan tekanan.
Tidak ada imprealisme yang mensejahterkan rakyat pribumi, sehingga lahirlah nama-nama pergerakan dan tokoh-tokoh pahlawan di negeri ini dengan semangat patriotik. Kita mengenal Ki Tapa, Iskandar Muda, Untung Senopati, Imam Bonjol, Diponegoro, Cut Nya’din, Pattimura sampai Soekarno-Hatta. Mereka inilah cermin yang seharusnya kita jadikan ‘tapak langkah’ dalam membangun bangsa dan negara ini.

Nasionalisme
Pahlawan hakikatnya adalah emplementasi dari jiwa nasionalisme. Namun nasionalisme jika difahami sebagai kesadaraan mempertahankan negara dari rong-rongan asing, sepertinya terlalu basi. Sehingga perlu adanya penafsiran ulang    yang lebih kontekstual. Artinya, ditengah bangsa dan negara dilanda beraneka ragam bencana alam, mulai dari banjir, trunami, gempa bumi dan gunung merapi. Kita implementasikan jiwa nasionalisme untuk membantu dan meringankan beban saudara kita yang sedang terkena bencana.
Namun anehnya ditengah kesibukan aksi penggalangan dana yang dilakukan Ormas, LSM maupun rakyat biasa untuk proaktif membantu korban merapi, pemerintah malah asyik mengurusi kunjungan maupun studi banding ke luar negeri. Aksi sosial ini merupakan kritikan tajam terhadap pemerintah untuk lebih tanggas dalam menghadapi bencana.
Terkait dengan semangat nasionalisme, bangsa ini seolah-olah mudah tergoyahkan. Benedict Anderson menggambarkan bangsa Indonesia tak lebih sebuah komunitas terbayang. Mereka mudah dibentuk konstruk pemikirannya. Rasa solidaritas yang muncul akhir-akhir ini tidak lain merupakan produk media yang menggambarkan keganasan bencana kehadapan publik secara berlebihan. Coba jika media menayangkannya secara datar, apakah aksi sosial akan sedahsyat seperti ini?.
Maka untuk itu, bangsa ini harus segera meneguhkan kembali identitas nasionalnnya. Karena kekuatan bangsa dan negara ini tak lain sebuah akar sebuah pohon, ketika akar itu kuat, maka tegaklah pohonnya, sebaliknya jika akarnya sudah lapuk, lembek maka tunggu saaja kerobohnya.  Inilah kelemahan bangsa ini yang harus dan terus diperbaharui.

Penulis adalah Reporter ARENA, Mahasiswa Ilmu Sosial Dan Humaniora UIN Kalijaga Yogyakarta

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.