Perlunya Parpol Berkarakter

Oleh Taufiqurrahman SN*
Keterlibatan dan kepedulian politik warga adalah keniscayaan yang tak terbantahkan dalam negara penganut sistem demokrasi. Semua warga berhak dan wajib memperjuangkan kepentingan umum, kepentingan rakyat. Perjuangan itu dapat dilakukan secara khusus melalui sarana atau instrumen politik yang kita kenal dengan istilah Partai Politik (Parpol). Mereka yang berjibaku disini berusaha memberi warna dalam penyelenggaran negara dan kekuasaan pemerintah yang katanya demokratis ini.
Sejarah kepartaian di Indonesia selama 65 tahun belum menampakkan diri sebagai sarana politik yang ideal bagi kepentingan umum, yakni mengacu pada kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat.
Parpol yang seyogyanya sebagai sarana dan instrumen aspirasi rakyat, justu kini malah dipahami sebagai tujuan dan kepentingan sepihak. Perjuangan warga lewat partai politik yang hakekatnya mulia, berkarakter dan berwajah manusiawi, berubah menjadi perebutan kekuasaan politik yang mengasikkan untuk memenuhi kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan yang berupa prestise, uang dan materi. Hal inilah yang justru melahirkan pemerintahan bergaya “macheavelistik” dengan menghalalkan segala macam cara untuk memenuhi hasrat keserakahan akan kekuasaan yang buta. Kekuasaan politik telah pudar dari induk perwujudan demokrasi, politik telah cidera dan tidak didasarkan pada akal sehat, nurani dan kepentingan umum. Namum, politik semakin menuju pada hukum rimba homo homoni lupus.
UU Parpol Baru
Eksistensi suara politik warga lewat parpol agak tersendat dengan adanya verifikasi parpol oleh kementerian hukum dan HAM, Patrialis Akbar, yang akan dimulai pada 17 Januari 2011, nanti. Proses verifikasi wajib diikuti semua partai politik bahkan sembilan partai yang sekarang duduk diparlemen. (Kompas 18/12/2010).
Adanya revisi UU parpol baru dinilai suatu pengkerdilan tehadap pendirian kekuasaan parpol, hak parpol yang luas seperti tertuang dalam UU Nomor 31 tahun 2002, direvifisi menjadi UU nomor 2 tahun 2008, sebagaimana dalam pasal 51 menyebutkan bahwa partai politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik tetap di akui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuasian menurut undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi. Sementara verifikasi parpol yang dibentuk setelah undang-undang ini diundangkan selesai paling lambat 2,5 tahun sebelum pemungutan suara pemelihan umum.
Salah satu kebijakan mengenai pendirian parpol disebutkan bahwa parpol harus didirikan minimal oleh 990 orang warga negara yang berasal dari 33 provinsi atau minimal 30 orang per provinsi. Selain itu, parpol harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota di tiap-tiap provinsi dan 50 persen kecamatan ditiap-tiap kabupaten/kota, lengkap dengan saran dan prasaranya, seperti kantor tetap. (Kompas 18/12/2010).
Iniah yang disebut sebagai usaha pembatasan suara warga dalam ikut andil pesta demokrasi, kita teringat kembali pada kebijakan-kebijakan Orde Baru ihwal partai politik, dimana kemenangan kekuasaan politik berada ditangan partai-partai besar, bahkan suara warga waktu itu dipasung oleh kekuasaan otoroter. Begitu juga dalam konteks masa kini, bau kebijakan Orde Baru mulai tercium. Adanya kebijakan baru, ihwal revisi UU parpol diatas hanya akan menguntungkan partai-partai besar yang telah memilki cabang partai diseluruh kawasan nusantara. Sebaliknya, partai-partai kecil atau yang baru merintis parpol akan kesulitan untuk memenuhi kebijakan kementerian hukum dan HAM tersebut.
Namun, bangunan kebijakan UU parpol tidak terlalu penting diperdebatkan, dalam sejarah kepartaian di Indonesia hampir memiliki kasus sama. Mereka manis dimuka dan pahit didalam. Meskipun revisi kepartaian digaungkan hasilnya akan ‘ajeg’ pula, sebab terjadi kesalahan paradigma parpol. Maka, disini diperlukan paradigma baru, agar parpol lebih konstruktif, bersih, evolusioner dan lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan sepihak.
Paradigma baru
Meskipun wajah perpolitikan kita masih “semprawut” seperti ini, tetapi negara tetap masih membutuhkan parpol sebagai palaku demokrasi. Sulit membayangkan kedaulatan rakyat tanpa adanya parpol. Wajah buruk pengelolaan dan penampilan partai yang kurang terpuji jangan langsung divonis dengan meniadakan atau memberatkan parpol dengan syarat-syarat berat dan rumit. Namum yang harus ditumbuhkan adalah perlunya membangun partai politik yang berkarakter. Artinya, bangunan karakter inilah yang menjadi “kompas”, penunjuk arah dalam kepemimpinan kekuasaan politik.
Pertama, parpol yang berkarakter secara konsekuen memperjuangkan visi, misi negara dan bangsa, tidak hanya manis dalam AD, ART atau program parpol. Namun parpol berkarakter harus tegas, tanpa intervensi pihak manapun untuk menentang negara atau pemerintah yang diskriminatif, sewenang-wenang, mengekang kebebasan bersuara, kebebasan beragama dan kebebasan agama.
Kedua, parpol berkarakter segmen utamanya adalah kepentingan umum. Yang bertugas sebagai garda depan pembela dan pelindung masyarakat, menegakkan keadilan, menjaga persatuan dan kesatuan intregitas bangsa dan negara. Oleh karena itu, kesejahteraan umum bagi parpol berkarakter adalah harga mati. Parpol berkarakter harus peka terhadap realitas sosial, tidak boleh membiarkan kemiskinan dan pengangguran menyelimuti negara ini.
Pondasi paradigma parpol berkarakter-lah yang urgen dimiliki setiap parpol. Revisi UU parpol jangat diributkan terlalu dalam, justru tantangan yang besar bagi kita adalah menumbuhkan parpol berkarakter itu sendiri.
*Penulis adalah Pengkaji Politik pada Ilmu Social dan Humaniora UIN Kalijaga Yogyakarta.

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.