Bulan-bulan terakhir ini, lebih dari sejuta orang, kebanyakan orang muda, menggelar aksi protes menentang sebuah tata ekonomi baru yang disebut Globalisasi. Salah satu gerakan protes terbesar sejak tahun 1960-an. Belum pernah terjadi sebelumnya massa yang begitu besar. Bergerak memperjuangkan kemakmuran dan memberantas kemiskinan. Bahkan belum pernah sebelumnya ada jurang pemisah yang begitu lebar. Dan ketimpangan yang begitu meluas, diantara yang kaya dan miskin. Inilah globalisasi yang sebenarnya.
Saat ini sekelompok kecil orang-orang yang berkuasa ternyata lebih kaya. Dibandingkan dengan keseluruhan jumlah penduduk di benua Afrika. Hanya dengan 200 perusahaan, seperempat abad kegiatan ekonomi dunia sudah dapat dikuasai. Sekarang ini general motors lebih besar dibanding Denmark, Ford lebih besar dibanding Afrika Selatan.
Luput dari mata pembeli di jalan-jalan besar, merek-merek barang terkenal, mulai dari sepatu olah raga hingga pakaian bayi, hampir seluruhnya dibuat dinegara-negara yang sangat miskin, dengan upah buruh sangat rendah, nyaris seperti budak. Untuk mempromosikan Nike, Pegolf Tiger Woods dibayar lebih tinggi, dibandingkan dengan upah seluruh buruh yang membuat produk Nike di Indonesia.
Desa globalisasi seperti inikah yang disebut-sebut sebagai masa depan umat manusia?. Atau ini semata-mata adalah cara lama yang dulunya dilakukan pada jaman raja-raja. Dan sekarang diteruskan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, dengan berbagai lembaga keuangan dan pemerintah sebagai penopangnya.
Tulisan ini menceritakan penguasa baru dunia, khususnya pengaruhnya bagi sebuah Negara. Indonesia.
“The new rulers of the word”
Indonesia adalah sebuah Negara dimana imprealisme lama bertemu dengan imperialisme yang baru. Sebuah Negara yang kaya dengan sumber daya alam yang melimpah: tembaga dan emas, minyak, kayu, keahlian dan SDM-nya. Sejak dijajah oleh Belanda di abad ke-16. Kekayaan alam Indonesia dirampas oleh barat. Selama bertatus-ratus tahun lamanya. Itu sesungguhnya hutang yang sampai saat ini masih belum terbayar. Pramudia Ananta Noer menyatakan bahwa Indonesia itu dihisap oleh Negara-negara utara, bukan hanya Indonesia, semua Negara negara kulit berwarna, sehingga barat menjadi kuat, menjadi makmur, menguasai keuangan dan perdagangan. Sampai sekarang. Dan sekarang didekte oleh IMF oleh Bank Dunia negeri yang begini kaya diubah menjadi negeri pengemis; Indonesia. Karena tidak adanya karakter pada elite.
Kita para penganutnya hanya globalisasilah yang mampu menyatukan manusia dari segala ras diseluruh Negara dan menurut mereka ia dapat mengurangi kemiskinan. Globalisasi dapat menciptakan kekayaan secara merata. George Monbiot berpendapat bahwa apa yang sesungguhnya terjadi didepan mata kita adalah justru yang terjadi sebaliknya, yang miskin semakin miskin. sementara yang kaya menjadi luar biasa kaya.
Inilah contoh mereka yang kaya raya itu, dalam sebuah pesta pernikahan kalangan elite Indonesia di Jakarta. Dua keluarga disatukan. Empat tahun lalu, The Word Bank (bank dunia) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan dinamika ekonomi yang sukses. Sebuah model “keberhasilan ekonomi” ala globalisasi. Perhiasaan dan pakaian merek Versace adalah hasil perolehan keuntungan yang diperoleh dari “kebebasan dunia baru.” Barang apapun bisa dibeli asalkan kita mempunyai uang. Hal itu berlaku bagi siapa saja diseluruh dunia ini. Diluar pesta pernikahan ini terdapat dunia lain. Di Indonesia 70 juta orang hidup dalam kondisi teramat miskin. Jika dihitung seorang buruh seperti pelayan dipesta ini, harus bekerja selama 400 tahun untuk dapat membayar resepsi ini.
Tidak sampai 8 km jauhnya dari gedung resepsi terdapat kenyataan buruk yang tersembunyi. Sisi dari ‘keberhasilan ekonomi’ yang tidak diberitakan. Ini adalah tempat tinggal para buruh yang memproduksi merek-merek terkenal. Yang biasa kita beli dipusat-pusat perbelanjaan. Kehidupan seperti “inilah”** yang harus dijalani buruh demi sepatu bermerk. Pakaian bagus dan celana jins dengan label: “Buatan Indonesia”. Orang-orang muda yang tinggal ditempat ini yang membuat merek-merek terkenal ini. Rata-rata dibayar 9000 rupiah sehari, atau sekitar satu dolar. Inilah upah minimum yang resmi di Indonesia.
Menurut pemerintah upah ini setengah lebih tinggi dari standar hidup. Tempat tinggal mereka dibuat dari kotak-kotak barang. Saat hujan turun mereka teritimpa banjir. Terdapat pancuran namun tidak tersedia air bersih. Banyak anak-anak kekurangan gizi dan terjangkit penyakit. Bahkan dalam proses reportase ini, penulis terkena demam Denghi akibat nyamuk-nyamuk bersarang di perkampungan ini. Nyamuk-nyamuk ini dapat membunuh anak-anak.
Keadaan disini tidaklah berbeda dengan keadaan tempat tinggal para pekerja dibelahan lain, di Asia, Afrika, Amerika Latin dimana merek-merek terkenal diproduksi dengan murah, demi keuntungan pasar-pasar di barat.
“Inilah”** tempat buruh bekerja yang disebut sebagai pengolahan sumber ekonomi yang artinya tempat dimana para pekerja membanting tulang dengan gaji yang rendah. Pabrik-pabrik tempat modern tapi didalamnya kita akan melihat buruh seperti mesin yang tampak wajah-wajah mereka kelelahan.
*Menyadur dari dokumentasi Film Globalisasi karya Reporter, Jonh Pilger.
**Sebuah kondisi yang tidak layak.