Oleh Taufiqurrahman SN
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pencabutan UU BHP merupakan kabrr menggembirakan bagi masyarakat. Sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang tidak memiliki kekuatan hukum penuh merupakan “angin segar” bagi publik.
Sejak semula pemberlakuan BHP cenderung diskriminatif, lantaran akan mempersulit akses masyarakat terhadap dunia pendidikan dan sekaligus menjadikan pendidikan di Indonesia menjadi mahal. Maka setelah pencabutan UU BHP diharapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, mencetuskan regulasi baru sektor pendidikan yang lebih pro-rakyat bukan mengganti baju BHP tetapi roh-nya masih dipakai.
Pro-rakyat
Pendidikan tanah air yang semakin hari bukannya membaik ini, perlu mendapatkan “suntikan” baru bukan malah diperkeruh dengan polemik kebijakn baru. Harapan setelah UU BHP ini, adalah pendidikan yang tidak diskriminatif. Artinya pendidikan adalah milik bersama, tidak ada kelas atas tingkatan-tingkatan yang justru akan mengsengsarakan dan memperpecah jiwa nasional;is. Idealnya, pendidikan tahan air khittah (kembali) pada peraturan pendidikan (sisdiknas nomor 23 tahun 2003). Yakni, mencerdaskan bangsa.
Langkah yang perlu ditempuh Pemerintah dalam rancangan bentuk regulasi pasca pencabutan UU BHP yang kabarnya masih berbentuk polemik seperti: UU, Perpu, dan Peraturan Pemerintah (PP) perlu kajian ulang. Pertama, Langkah bijak MK yang telah meyelamatkan dunia pendidikan kita dari komersialisasi pendidikan bukan hanya “angin segar” belaka tanpa adanya tindak lanjut yang pasti, baik dari Pemerintah, Perguruan Tinggi (PT) maupun oknum eksternal. Sebab, jika tidak ada transparansi pendidikan antara pelaku pendidikan tanah air ini, dikawatirkan akan memunculkan aksi gerakan yang lebih keras dan masif dari pada penolakan UU BHP ini.
Kedua, jika dalam UU BHP diberlakukan aturan antara lain; setiap peserta didik menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan dan perguruan tinggi (PT) atau badan pendidikan mempunyai hak penuh terhadap kebijakan PT. Jelas, ketentuan konsep semacam ini, sangat memberatkan orang tua murid dalam hal finansial. Sebab, Undang-Undang ini sama sekali tidak sejalan dengan konstitusi UU 1945 bahwa Negara menjami setiap warga Negara untuk mendapatkan penghidupan dan pendidikan yang layak. Maka, dalam pengambilan kebijakan kali ini perlu memperhatikan kemaslahatan rakyat, sehingga PT terutama yang berkualitas tidak hanya menjadi milik mereka yang ber-uang.
Ketiga, mengembalikan PT BHMN (Perguruan Tinggi favorit dan berkualitas) menjadi PTN yang dapat diakses oleh semua warga negara, yaitu dengan peraturan pemerintah yang mengekor pada pada UU Sisdiknas, bukan UU yang masih mengekor pada UU BHP. Sebab, prinsip penyelenggaraan yang dianut Undang-Undang ini sulit untuk dilaksanakan secara holistik. Dalam realitasnya, pendidikan kita masih dikelola seutuhnya oleh banyak lembaga, mulai dari yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf dan badan hukum sejenisnya.
Oleh karena itu, sikap pemerintah yang masih mengiginkan esensi UU BHP itu menunjukkan bahwa ketidakseriusan dalam memperbaiki dan meningkatkan kuwalitas Perguruan Tinggi, tetapi lebih memberatkan pada kepentingan-kepentingan yang sifatnya pragmatis, salah satunya terkait dengan kerjasama dengan luar negeri termasuk Bank Dunia.
Mutu Pendidikan
Dengan memnfaatkan momentum hari Pendidikan Nasional (2/mei/2010) kemarin dan momentum pasca putusan MK, kita perlu memandang sisi lain yang selama ini menjadi kendala bagi perkembangan mutu pendidikan tanah air. Seperti dialog antar pemerintah dan masyarakat, peninjau ulang UU Sisdiknas khususnya yang menyangkut pendanaan dan mengingat kembali bahwa pendidikan sebagai hak asasi yang dijamin sepenuhnya oleh Negara perlu direalisasikan bukan dijadikan “topeng” untuk lari dari tanggungjawab. Padahal Negara Indonesia sudah menggariskan bahwa pendidikan sebagai pilar utama kemerdekaan. Maka inilah yang seharusnya perlu disiasati oleh Menteri pendidikan dalam mewujudkan cita-cita faunding fathers kita.
Sebagaimana Plato, filsuf terkemuka pada zaman Yunani ini pernah mengungkapkan bahwa “kejahatan paling nyata adalah kebodohan”. Dalam konteks ini sangat tepat dijadikan titik pijak dalam pengambilan kebijakan. Artinya, kejahatan kapitalis manusia dibumi ini adalah rendahnya tingkat mutu pendidikan. Maka, melalui pandangan Plato diatas, pemerintah harus mementingkan pendidikan warga negaranya dari pada terjebak pada mentalitas meminta-minta dan ketergantungan pada pihak luar.
Seperti judul tulisan ini “Setelah UU BHP lalu apa”? merupakan pertanyaan yang menjadi kegelisahan bangsa ini. Bagaimana rakyat menantikan regulasi kebijakan yang pro-rakyat bukan kalau dalam bahasanya Darmaningtiyas “Kanibalisasi UU BHP”. Artinya jasad UU BHP yang sudah dikubur MK , jangan rohnya dihidupkan kembali. Sebab, ini akan menjadi permasalah yang lebih mengerikan daripada sebelumnya.
Penulis adalah Peneliti pada The Hasyiem Institute Yogyakarta