Membangun Komunikasi Lintas Agama

Oleh Taufiqurrahman SN

Meski bukan merupakan fenomena “anyar” dialog antar kelompok agama, namun telah menjadi perhatian khusus bagi berbagai kalangan keagamaan. Sejak paruh abad kedua dialog antar agama-agama secara umum dan lintas agama islam-kristen secara khusus, banyak dilakukan oleh berbagai kalangan baik yang berupa kelompok maupun lembaga keagaam secara legal, yang berupa kajian dalam forum local, nasional, bahkan internasional, dengan model seminar maupun konferensi.

Banyak buah positif yang dapat dipetik dari forum-forum seperti diatas. Pertama, dengan berkumpulnya orang yang secara dasar bangunan teologi keimanan berbeda, membuat tali persaudaraan lebi mengental, bahkan mampu mengubah paradigma miring terhadap agama atau aliran lain. Dikisahkan pada suatu pertemuan penjamuan wakil pemuka agama di Roma, Italia pada tahun 1994, meliputi penganut agama hindu, budha, kristen, islam, yahudi dan tokoh-tokoh agama penting lain berkumpul dalam suatu majlis dan terlihat begitu antusias, saling berjabat tangan dan bahkan ada yang sampai mencium tangan Paus.

Kedua, Menumbuhkan kesadaran  personal dan simpatisan terhadap pemeluk agama lain. Semisal dilingkungan islam barat, dimana memori sejarah tentang tragedi keaagamaan telah membentuk “”mindset” dan penyikapan negative atas agama islam dan orang muslim. Bahkan, sampai sekarang pemaknaan islam di Barat masih menjadi hal yang tabu. Terkait dengan hal ini, tak ayal jika kemudian muncul pusat-pusat kajian lintas agama di dunia Barat yang bertujuan meningkatkan toleransi dan simpatisan terhadap pemahaman dan pengakuan antar agama lain.

Ketiga, Lompatan metodologis pemahaman dalam studi agama-agama. Salah satu kelemahan pemahaman keagamaan adalah kecenderungan menyakini bahwa agama tertentu dijadikan sebagai standar kebenaran mutlak. Sementara kebenaran agama lain nihil bahkan sesat. Fanatisme agama ini, justru menjebak para pengikutnya apatis terhadap pluralisme agama dan menganggap agama lain adalah musuh. Dengan kata lain, agama telah dijadikan baju identitas bukan sebagai sumber kebenaran (esensi). Untuk itu, di perlukan metodologi baru terkait dengan pemahaman ‘salah-kaprah’ seperti ini. Yakni, dengan menganggap agama yang dianut adalah sebagai usaha mencari kebenaran dan jangan mengklaim bahwa agama kita paling benar dan agama lain sesat.

Kehawatiran inilah yang menjadikan berbagai Perguruan Tinggi di Barat tidak lagi mengajarkan perbandingan agama dalam arti mencari dan memperbandingkan sisi kelebihan dan kekuarangan agama-agama. Bahkan kini istilah comparative religious tidak lagi dipergunakan.    Kemudia diganti dengan istilah study of world religious atau history of world religious. Penerapan sistem ini sebenarnya sebagai kritikan terhadap sistem pendidikan kita pada jurusan  perbandingan agama di lingkungan kampus IAIN/UIN dan Perguruan Tinggi lain di Indonesia, perlu dikaji ulang.

Sementara tantangan yang kita hadapi dalam bahasanya Mun’im (2003) bukan bagaimana “menyelematkan” agama dari keanekaragaman teologi, visi dan tradisi, tetapi bagaimana membangun komitmen menghargai pluralitas agama itu. Alqur-an sendiri mengajarkan kita agar mencari “titik temu” (kalimatun sawa), bukan menyeragamkan keberbedaan dalam satu teologi dan ritual. Sebab keragaman adalah desain Tuhan yang tidak dapat kita pungkiri eksistensinya.

Pesan Damai
Maka pada momentum hari cinta kasih saudara kita, yang sedang melaksanakan hari raya Natal (25/12/2010) kemarin, merupakan usaha implementasi komunikasi lintas agama secara masif. Agama tidak dipandang sebagai dinding pemisah interaksi sosial. Namun, agama sebagai wujud toleransi dan tutur sapa kita terhadap pemeluk agama lain. Dalam negara demokrasi sendiri, seperti tertera pada pasal 29 ayat 2, menyebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaanya itu. Terlihat disini tidak ada intervensi dari negara ‘mengoyak’ privatisasi teologis bangsa untuk menyatukan satu teologi. Asalkan agama dan kepercayaannya itu sesuai dengan ideologi pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Namun, dalam pengejawantahannya masih jauh panggang dari api. Pemerintah sebagai agen of change yang memiliki otoritas penuh terhadap kebijakan ini, masih bersifat ‘cengeng’ terhadap para pelaku kekerasan agama. Melemahnya toleransi terhadap kelompok minoritas masih mencengkram. Pengakuan pluralitas terhadap  kaum minoritas sebagaimana yang sering dicontohkan almahrum Gus Dur, belum membumi ke dasar “mindset” bangsa ini. Kekerasan agama masih membeludak ibarat “gunung merapi”, yang sewaktu-waktu dapat ‘jebluk’ tanpa konfirmasi sebelumnya.

Data Persatuan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI), mencatat sepanjang tahun 2010, sedikitnya 300 kasus kekerasan yang berlatar belakang agama sejak tahun 2009 sampai saat ini. Sementara untuk tahun 2010 sendiri ada 120 kasus, misalnya penutupan Panti Asuhan milik Jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat dan penyegelan tempat ibadah HKBP di Rancaekek, kabubaten Bandung.

Fenomena diatas, sangat berbahanya terhadap ketahanan persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonenesia (NKRI), jika tidak ada langkah tegas dari oknum berwenang. Oleh karena itu, salah satu usaha meredam genderang kekerasan agama dengan menggunakan pendekatan komunikasi lintas agama. Komukasi ideal mempunyai pengaruh urgen terhadap kesadaran bertoleransi dan penghargaan terhadap pluralitas agama, etnis dan gender.

Maka pesan damai yang dibawa oleh Kristus dalam perayaan Natal kali ini, merupakan momentum emas untuk menggelorakan toleransi agama. Dan kita berharap Natal tahun 2010 menjadi kendaraan dalam menguatkan kembali tali perdamaian dan perbaikan komunikasi lintas agama dimasa depan.

Penulis adalah Pengamat studi Komunikasi Lintas Agama UIN Sunan Kalijaga

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.