Oleh: Deni S. JusmaniPengantar
Setiap pakaian, apapun jenis desain dan materialnya, selalu membawa dan berlandaskan ideologi yang bersifat aktif atau pasif. Ia adalah penanda, sesuatu yang ingin dikomunikasikan, sebuah atau pesan ganda, ada percakapan semu, dan bahkan dapat menjadi lambang perlawanan. Usia pakaian hampir sama dengan peradaban manusia, sebuah studi di Universitas Florida yang mempelajari evolusi kutu menemukan data, bahwa manusia modern mulai mengenakkan pakaian sekitar 70.000 tahun sebelum bermigrasi ke daerah yang lebih tinggi dan beriklim lebih dingin. Migrasi itu sendiri terjadi kira-kira 100.000 tahun lalu.
Setiap pakaian, apapun jenis desain dan materialnya, selalu membawa dan berlandaskan ideologi yang bersifat aktif atau pasif. Ia adalah penanda, sesuatu yang ingin dikomunikasikan, sebuah atau pesan ganda, ada percakapan semu, dan bahkan dapat menjadi lambang perlawanan. Usia pakaian hampir sama dengan peradaban manusia, sebuah studi di Universitas Florida yang mempelajari evolusi kutu menemukan data, bahwa manusia modern mulai mengenakkan pakaian sekitar 70.000 tahun sebelum bermigrasi ke daerah yang lebih tinggi dan beriklim lebih dingin. Migrasi itu sendiri terjadi kira-kira 100.000 tahun lalu.
Pakaian, tidak saja hanya suatu benda yang digunakan pada tubuh, bukan hanya untuk menghangatkan dan memberi kenyamanan pada konteks fisik dan psikologis, tetapi juga untuk kepentingan pencitraan, persoalan identitas, penggayaan dan gaya hidup, isu politik, serta terdapat misi budaya. Rupanya, pakaian juga yang menjadi alat diplomasi pada beberapa negara. Sudah menjadi tradisi, saat suatu negara kedatangan tamu kenegaraan atau orang penting lainnya, tentu akan disuguhkan dengan segala macam bentuk kekayaan lokal, misal: tarian, nyanyian, olah raga, dan tentunya juga pakaian. Pakaian menjadi penting, manakala ia berkamuflase dalam wilayah sosial. Bukan satu kebetulan saja, pakaian Safari menjadi ikon kesuksesan dan kemapanan, t-shirt sebagai lambang kebebasan ekspresif berbusana atau lambang anak muda, serta atribut dan busana keagamaan yang terkesan tertutup, mencerminkan kondisi pemaknaan ganda. Peran popularitas busana dan persoalan mempopulerkannya pada kondisi masyarakat tertentu, seperti mengharuskan orang-orang untuk bergaya. Epidemi gaya hidup menjadi alat penanda seseorang pada konteks pergaulan sosial. Iklan dan ideologinya, membuat semacam sistem yang mampu mendeteksi siapa yang menginginkan apa, siapa yang mampu membeli. Perkembangan iklan ideologis mengonfirmasikan suatu pemahaman bahwa orang-orang, publik, para konsumen, pada kenyataannya tertarik pada nilai-nilai.
Pakaian: Ideologi Konsumerisme, Kekuasaan, atau Perlawanan?
Malcolm Barnard mengungkapkan, pakaian digunakan untuk menunjukkan nilai sosial atau status, dan orang sering membuat penilaian terhadap nilai sosial, berdasarkan atas apa yang dipakai oleh orang lain tersebut. Beberapa pandangan marxis, mengklaim bahwa pakaian hanyalah cara tempat mengekspresikan dan merefleksikan identitas kelas; bahwa manusia yang anggota kelas sosial dan mengkomunikasikan keanggotaannya melalui pakaian. Fashion bukan hanya soal pakaian, tetapi juga sebagai mekanisme atau ideologi yang berlaku untuk hampir setiap area pada dunia modern, dari akhir abad pertengahan dan periode sesudahnya. Pakaian adalah wujud sebuah entitas yang berhubungan dengan hasrat untuk tampil berbeda dengan komunitasnya. Oleh karenanya, berbagai upaya dilakukan dalam perkara menghias tubuh, yang pada nantinya akan terpasung dalam hasrat-hasrat semu. Hasrat berlebihan, untuk memiliki, bergaya, dan berbelanja, telah menjebak manusia pada wilayah konsumerisme. Konsep konsumerisme merupakan gerakan modern untuk melindungi konsumen terhadap produk yang tidak berguna, inferior, atau berbahaya, iklan menyesatkan, harga yang tidak adil; konsep bahwa konsumsi barang terus berkembang dan menguntungkan bagi perekonomian; fakta atau praktek dari meningkatnya konsumsi barang. Hasrat, keinginan adalah sumber dari praktek konsumerisme, dan iklan adalah alat yang mampu mempengaruhinya.
Konsumerisme dalam pandangan John Storey adalah teori-teori mengkonsumsi. Perilaku konsumsi secara artifisial dipengaruhi oleh iklan. Laki-laki dan perempuan adalah identitas yang disangkal dalam produksi (yang tidak kreatif), dan karenanya dipaksa mencari identitas pada konsumsi (yang kreatif). Herbert Mercuse (1968) menunjukkan bahwa ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bekerja sebagai satu bentuk kontrol sosial. Pengiklan mendorong kebutuhan palsu untuk menjadi jenis orang tertentu, menggunakan tipe pakaian tertentu, serta makan, minum, dan menggunakan barang khusus. Dikatakan oleh Pierre Bourdieu (1984) perilaku ini bertujuan untuk pembedaan sosial, pertarungan kelompok dan kelas sosial, dan pembedaan tersebut masuk dalam ranah budaya, bukan ekonomi. Hedonisme konsumerisme modern dipahami sebagai pencarian kenikmatan dan makna melalui godaan pembaruan yang selalu disediakan pasar. Logika modernitas, fashion bukanlah eksploitasi irasional, melainkan merupakan suatu pencarian eksistensial untuk berbeda dalam budaya sekular.
Baudrillard memandang konsumerisme sebagai budaya konsumen yang memiliki ciri terpenting sebagai gerakan untuk menuju ke arah produksi massa berbagai komoditas, yang dikatakan hilangnya manfaat asli yang “hakiki” dari benda-benda, karena dominasi nilai tukar dalam kapitalisme. Kemenangan budaya yang memberikan dorongan simulasional, sehingga mengaburkan realita dan imajiner, merupakan hidup dalam dunia halusinasi realitas yang bersifat “estetis”. Kebutuhan keindahan dan seni telah mengungguli kebutuhan sebenarnya. Pada akhirnya, kebiasaan bergaya hidup yang disimbolkan melalui “percakapan busana” tidak lagi masuk wilayah kebutuhan pokok (untuk berpakaian), melainkan bentuk simulasional, yang mengedepankan logika konsumsi.
Rentetan sejarah perlawanan melalui pakaian setidaknya pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi, seorang pejuang humanis anti kekerasan dari India menanggalkan atribut Baratnya (pakaian dan ideologi keilmuannya) untuk menentang Inggris. Lewat semangat dan ideologi Swadesi, disimbolkan melalui pakaian tradisional India yang dipakai, mengantarkan bangsanya menuju kemerdekaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ho Ci Minh, Yose Rizal, Mao Tse Tung, dan para pemimpin pembebasan Asia lain. Hanya pada Soekarno terjadi pembalikan perlawanan itu, dengan pakaian militernya yang persis dengan pakaian para gubernur jenderal Belanda. Lengkap dengan bintang dan tanda jasa, tetapi hal ini tidak mengecilkan arti orientasi politik pakaiannya melawan Belanda.
Pakaian sudah berbicara, tanpa harus ia berkomunikasi. Pakaian digunakan sebagai simbol pemberontakan dan perlawanan terhadap satu sistem, ketika seseorang jenuh dengan rutinitas dan “hukum berpakaian” yang ada. Pakaian, satu sisi adalah alat pemersatu, sisi lain untuk memisahkan dan mengelompokkan komunitas atau suku tertentu; ia cenderung berbicara ras, agama, bahkan alat untuk membedakan martabat. Busana Babaju Kubaya Panjang identik Suku Banjar (Kalimantan Selatan), busana Baru Oholu dan Õröba Si’öli yang identik Suku Nias, bahkan ada pembedaan pakaian tradisional Bengkalis dan Siak (Riau), menunjukkan pengelompokkan dan pembedaan suku, tentu dengan ideologi yang berbeda juga (setidaknya pada pakaiannya). Perbedaan dan hal yang membedakan ini juga muncul pada pakaian dan bendera partai politik, masing-masing partai memiliki pakaian dan bendera sendiri, lengkap dengan ideologinya. Konsep Bhinneka Tunggal Ika cukup efektif dalam merpersatukan ideologi berbusana di Indonesia, minimal terjadi pada beberapa instansi, seperti: pakaian sekolah (tingkat dasar dan menengah), Pramuka, Korpri, atau Safari. Akan tetapi, pada beberapa waktu ini, muncul pakaian identitas pada sekolah-sekolah tertentu, pakaian yang hendak berbicara nama instansi suatu sekolah.
Pengakuan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahwa batik sebagai warisan tradisi milik Indonesia yang dilandasi filosofi mendalam, cukup berpengaruh dalam penentuan kebijakan pemerintah, dalam seragamisasi (jika tidak mau dibilang Jawanisasi) batik di Indonesia. Bahkan, ada hari batik di Indonesia. Hampir seluruh sendi kehidupan sosial di Indonesia “wajib” mendukung dan menjalankan kebijakan pemerintah tersebut. Elemen sekolah, Pegawai Negeri Sipil, instansi pemerintah, dan karyawan pabrik dan toko, diseluruh kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan pakaian batik. Tentu, dan seharusnya bagi siapa pun yang menggunakan batik, memakainya bukan karena peraturan, melainkan kecintaan warisan tradisi. Walaupun, “penyeragaman” ini bukan pertama kali dilakukan oleh pemerintah. Ada semacam “aturan” tidak mengikat (tidak ada sanksi) dalam kebijakan wajib batik tersebut. Wajib batik menunjukkan tatanan ideologi yang serba dipilih-pilih. Hal inilah yang dibicarakan dalam konsep Dani Cavallaro, bahwa ideologi merupakan ide-ide yang diunggulkan oleh kelas sosial, gender, atau kelompok ras tertentu. Kenapa bukan kain Songket? kain Ulos? Atau kain Tapis? Kenapa kain batik yang menjadi simbol kain nasional? Disini juga muncul praktek legitimasi kekuasaan, sekaligus berbicara ide-ide yang diunggulkan. Terlepas dari konsepnya Cavallaro, jika berbicara batik, maka akan memperkenalkan ide dan filosofis orang Jawa (Jawasentris) pada orang Indonesia; dan pada dunia internasional, berbicara tentang kekayaan tradisi dan landasan pikir masyarakat Indonesia.
Penutup
Pakaian telah mengalami evolusi yang luar biasa dalam konteks fisik, psikologis, sosial, politik, dan dalam produk kebudayaan. Begitu banyak dan nyata jalinan cerita yang terangkai pada sehelai busana, sehingga menjadikannya sebagai saksi penting dalam pergulatan kehidupan sosial. Pakaian bukanlah benda mati, melainkan artefak ideologi yang mampu menguraikan kebenaran masa lalu, saat ini, dan akan menjadi saksi untuk masa depan. Tubuh manusia selalu terpenjara dalam perilaku berbusana, bahkan pakaian menjadi kulit budaya dan pesan kepada manusia disekitarnya. Kekuatan busana ini jugalah yang dipercaya mampu mengangkat citra, harkat, dan martabat bagi sekelompok atau pun individu tertentu.
Pakaian: Ideologi Konsumerisme, Kekuasaan, atau Perlawanan?
Malcolm Barnard mengungkapkan, pakaian digunakan untuk menunjukkan nilai sosial atau status, dan orang sering membuat penilaian terhadap nilai sosial, berdasarkan atas apa yang dipakai oleh orang lain tersebut. Beberapa pandangan marxis, mengklaim bahwa pakaian hanyalah cara tempat mengekspresikan dan merefleksikan identitas kelas; bahwa manusia yang anggota kelas sosial dan mengkomunikasikan keanggotaannya melalui pakaian. Fashion bukan hanya soal pakaian, tetapi juga sebagai mekanisme atau ideologi yang berlaku untuk hampir setiap area pada dunia modern, dari akhir abad pertengahan dan periode sesudahnya. Pakaian adalah wujud sebuah entitas yang berhubungan dengan hasrat untuk tampil berbeda dengan komunitasnya. Oleh karenanya, berbagai upaya dilakukan dalam perkara menghias tubuh, yang pada nantinya akan terpasung dalam hasrat-hasrat semu. Hasrat berlebihan, untuk memiliki, bergaya, dan berbelanja, telah menjebak manusia pada wilayah konsumerisme. Konsep konsumerisme merupakan gerakan modern untuk melindungi konsumen terhadap produk yang tidak berguna, inferior, atau berbahaya, iklan menyesatkan, harga yang tidak adil; konsep bahwa konsumsi barang terus berkembang dan menguntungkan bagi perekonomian; fakta atau praktek dari meningkatnya konsumsi barang. Hasrat, keinginan adalah sumber dari praktek konsumerisme, dan iklan adalah alat yang mampu mempengaruhinya.
Konsumerisme dalam pandangan John Storey adalah teori-teori mengkonsumsi. Perilaku konsumsi secara artifisial dipengaruhi oleh iklan. Laki-laki dan perempuan adalah identitas yang disangkal dalam produksi (yang tidak kreatif), dan karenanya dipaksa mencari identitas pada konsumsi (yang kreatif). Herbert Mercuse (1968) menunjukkan bahwa ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bekerja sebagai satu bentuk kontrol sosial. Pengiklan mendorong kebutuhan palsu untuk menjadi jenis orang tertentu, menggunakan tipe pakaian tertentu, serta makan, minum, dan menggunakan barang khusus. Dikatakan oleh Pierre Bourdieu (1984) perilaku ini bertujuan untuk pembedaan sosial, pertarungan kelompok dan kelas sosial, dan pembedaan tersebut masuk dalam ranah budaya, bukan ekonomi. Hedonisme konsumerisme modern dipahami sebagai pencarian kenikmatan dan makna melalui godaan pembaruan yang selalu disediakan pasar. Logika modernitas, fashion bukanlah eksploitasi irasional, melainkan merupakan suatu pencarian eksistensial untuk berbeda dalam budaya sekular.
Baudrillard memandang konsumerisme sebagai budaya konsumen yang memiliki ciri terpenting sebagai gerakan untuk menuju ke arah produksi massa berbagai komoditas, yang dikatakan hilangnya manfaat asli yang “hakiki” dari benda-benda, karena dominasi nilai tukar dalam kapitalisme. Kemenangan budaya yang memberikan dorongan simulasional, sehingga mengaburkan realita dan imajiner, merupakan hidup dalam dunia halusinasi realitas yang bersifat “estetis”. Kebutuhan keindahan dan seni telah mengungguli kebutuhan sebenarnya. Pada akhirnya, kebiasaan bergaya hidup yang disimbolkan melalui “percakapan busana” tidak lagi masuk wilayah kebutuhan pokok (untuk berpakaian), melainkan bentuk simulasional, yang mengedepankan logika konsumsi.
Rentetan sejarah perlawanan melalui pakaian setidaknya pernah dilakukan oleh Mahatma Gandhi, seorang pejuang humanis anti kekerasan dari India menanggalkan atribut Baratnya (pakaian dan ideologi keilmuannya) untuk menentang Inggris. Lewat semangat dan ideologi Swadesi, disimbolkan melalui pakaian tradisional India yang dipakai, mengantarkan bangsanya menuju kemerdekaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ho Ci Minh, Yose Rizal, Mao Tse Tung, dan para pemimpin pembebasan Asia lain. Hanya pada Soekarno terjadi pembalikan perlawanan itu, dengan pakaian militernya yang persis dengan pakaian para gubernur jenderal Belanda. Lengkap dengan bintang dan tanda jasa, tetapi hal ini tidak mengecilkan arti orientasi politik pakaiannya melawan Belanda.
Pakaian sudah berbicara, tanpa harus ia berkomunikasi. Pakaian digunakan sebagai simbol pemberontakan dan perlawanan terhadap satu sistem, ketika seseorang jenuh dengan rutinitas dan “hukum berpakaian” yang ada. Pakaian, satu sisi adalah alat pemersatu, sisi lain untuk memisahkan dan mengelompokkan komunitas atau suku tertentu; ia cenderung berbicara ras, agama, bahkan alat untuk membedakan martabat. Busana Babaju Kubaya Panjang identik Suku Banjar (Kalimantan Selatan), busana Baru Oholu dan Õröba Si’öli yang identik Suku Nias, bahkan ada pembedaan pakaian tradisional Bengkalis dan Siak (Riau), menunjukkan pengelompokkan dan pembedaan suku, tentu dengan ideologi yang berbeda juga (setidaknya pada pakaiannya). Perbedaan dan hal yang membedakan ini juga muncul pada pakaian dan bendera partai politik, masing-masing partai memiliki pakaian dan bendera sendiri, lengkap dengan ideologinya. Konsep Bhinneka Tunggal Ika cukup efektif dalam merpersatukan ideologi berbusana di Indonesia, minimal terjadi pada beberapa instansi, seperti: pakaian sekolah (tingkat dasar dan menengah), Pramuka, Korpri, atau Safari. Akan tetapi, pada beberapa waktu ini, muncul pakaian identitas pada sekolah-sekolah tertentu, pakaian yang hendak berbicara nama instansi suatu sekolah.
Pengakuan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahwa batik sebagai warisan tradisi milik Indonesia yang dilandasi filosofi mendalam, cukup berpengaruh dalam penentuan kebijakan pemerintah, dalam seragamisasi (jika tidak mau dibilang Jawanisasi) batik di Indonesia. Bahkan, ada hari batik di Indonesia. Hampir seluruh sendi kehidupan sosial di Indonesia “wajib” mendukung dan menjalankan kebijakan pemerintah tersebut. Elemen sekolah, Pegawai Negeri Sipil, instansi pemerintah, dan karyawan pabrik dan toko, diseluruh kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan pakaian batik. Tentu, dan seharusnya bagi siapa pun yang menggunakan batik, memakainya bukan karena peraturan, melainkan kecintaan warisan tradisi. Walaupun, “penyeragaman” ini bukan pertama kali dilakukan oleh pemerintah. Ada semacam “aturan” tidak mengikat (tidak ada sanksi) dalam kebijakan wajib batik tersebut. Wajib batik menunjukkan tatanan ideologi yang serba dipilih-pilih. Hal inilah yang dibicarakan dalam konsep Dani Cavallaro, bahwa ideologi merupakan ide-ide yang diunggulkan oleh kelas sosial, gender, atau kelompok ras tertentu. Kenapa bukan kain Songket? kain Ulos? Atau kain Tapis? Kenapa kain batik yang menjadi simbol kain nasional? Disini juga muncul praktek legitimasi kekuasaan, sekaligus berbicara ide-ide yang diunggulkan. Terlepas dari konsepnya Cavallaro, jika berbicara batik, maka akan memperkenalkan ide dan filosofis orang Jawa (Jawasentris) pada orang Indonesia; dan pada dunia internasional, berbicara tentang kekayaan tradisi dan landasan pikir masyarakat Indonesia.
Penutup
Pakaian telah mengalami evolusi yang luar biasa dalam konteks fisik, psikologis, sosial, politik, dan dalam produk kebudayaan. Begitu banyak dan nyata jalinan cerita yang terangkai pada sehelai busana, sehingga menjadikannya sebagai saksi penting dalam pergulatan kehidupan sosial. Pakaian bukanlah benda mati, melainkan artefak ideologi yang mampu menguraikan kebenaran masa lalu, saat ini, dan akan menjadi saksi untuk masa depan. Tubuh manusia selalu terpenjara dalam perilaku berbusana, bahkan pakaian menjadi kulit budaya dan pesan kepada manusia disekitarnya. Kekuatan busana ini jugalah yang dipercaya mampu mengangkat citra, harkat, dan martabat bagi sekelompok atau pun individu tertentu.
*) Dosen Universitas Negeri Semarang. Mahasiswa S-3 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.