Ingatan peristiwa reformasi 1998 tidak akan pernah padam dalam sejarah perjuangan mahasiswa melengserkan tampuk kekuasaan dinegeri ini. Soeharto distempel sebagai orang yang harus bertanggung jawab terhadap ketidakadilan, kemiskinan, krisis sosial-ekonomi dan menjamurnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Tak ayal, jika keberhasilan reformasi adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa maupun bangsa dalam menatap indonesia yang lebih baik.
Secara Historis, keinginan menjadi indonesia yang lebih baik telah diwujudkan bangsa ini sejak kebangkitan Boedi Oetomo tahun 1902, Perebutan Kemerdekaan 1945, Pergantian Orde Lama pada tahun 1966 dan terakhir adalah pelengseran Orde Baru yang dianggap biang kerok dari semua krisis kebangsaan.
Setiap fase itu, kita tidak bisa menafikan peran mahasiswa sebagai agent of change, promotor anti status qou, dan cinta akan demokrasi (kebebasan yang bertanggung jawab). Proses suksesi dari Orla lama ke Orde Baru dan Reformasi selalu berlumuran darah, serta untuk kesekian kalinya mahasiswa menjadi korban. Fakta riel adalah tewasnya beberapa mahasiswa Trisaksi atas keganasan rejim otoriter orde Baru yang hingga kini kejelasan pelakunya tidak diketahui.
Mereka adalah Elang Mulya Lesmana (mahasiswa Fakultas Arsitektur angkatan 1996), Herry Hartono (mahasiswa Fakultas Teknik Mesin angkatan 1995), Hendriawan Lesmana (mahasiswa Fakultas Ekonomi angkatan 1996) dan Hafidhin Royan (mahasiswa Fakultas Teknik Sipil angkatan 1995).
Semua pengorbanan mahasiswa Trisakti tersebut sebenarnya menjadi refleksi kepada kita, bagaimana memaknai arti reformasi pasca insiden 1998. Jangan sampai kita lupa atau melupakan arti sebuah pengorbanan. Layaknya para politisi harus lebih memahami tujuan mulia reformasi secara utuh. Bukan justru dimanfaatkan untuk meraup kepentingan pribadi atau kelompok sebagaimana yang ditampilkan politisi masa kini.
Namun penulis melihat 14 tahun pasca reformasi bangsa ini belum memperoleh orientasi utuh arti penting sebuah reformasi. Masa pecarian menuju indonesia yang lebih baik masih abu-abu, justru problem-problem kebangsaan semakin kompleks. Disinilah sebenarnya peran mahasiswa dan bangsa kembali di uji dan dibutuhkan. Oleh karena itu, momentum hari reformasi ini layak menjadi ajang refleksi merumuskan kembali problem bangsa dan lawan kita.
Problem Akut
Korupsi menjadi musuh utama bangsa ini yang benar-benar harus dituntaskan sampai ke akar-akarnya. Korupsi semakin hari semakin menggila dan menjalar. Kalau pada Orde Baru korupsi hanya berkutat pada abdi pemerintah, tetapi sekarang pembuatan KTP sampai pemilihan ketua RT penuh dengan nuansa korup. Sungguh mental korupsi merupakan sebuah penyakit sosial yang melebihi penyakit mematikan lainnya.
Parahnya pemberantasan korupsi tidak didukung oleh penegakan hukum yang tegas. Lagi-lagi hukum Indonesia mempertegas stigma “hukum pisau”, yang tajam dibawah tumpul diatas. Hukum terasa tegas dan mantap ketika mengadili orang-orang kecil. Sementara bagi para elite politik hukum terasa “melempem”. Sehingga wajar jika para koruptor kelas kakap tidak jera atau takut untuk tidak melakukan korupsi. Untuk itu, ketegasan hukum bagi para koruptor harus dipertegas lagi kalau bangsa ini ingin terlepas dari korupsi.
Identitas yang Retak
Kondisi munculnya kekerasan di negeri ini menegaskan terjadinya keretakan identitas bangsa akibat hegemoni salah satu identitas. Lihatlah beberapa kekerasan akhir-akhir ini yang mengatas namakan organisasi masyarakat (ormas). Seolah-olah ada entitas yang “ditakuti” dan “menakuti” yang sewaktu-waktu muncul tanpa ampun. Penyerangan Irsyad Manji di Lkis Yogyakarta memperburam daftar kekerasan yang dilakukan Ormas. Sementara pihak yang berwajib sering dibuat “mati kutu” ketika berhadapan dengan ormas-ormas tersebut.
Tak hanya itu, kekerasan dan tindak krimininalitas di kota-kota besar seperti Jakarta, akhir-akhir ini membuat bangsa ini tidak aman. Dilain sisi Korean style, dan deman artis luar, seperti Justin Biber, Katty Perry dan terakhir polemik konser Lady Gaga adalah tanda bahwa bangsa ini merasa kering akan identitas dirinya. Apakah ini terjadi akibat para pemimpin negeri ini yang terlalu sibuk pada politik dan ekonomi sementara dalam segi pembangunan dan karakter bangsa terlupakan tanpa penyesalan.
Tiga Paradigma
Bung Karno dalam pidato Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1964 dengan judul “Tahun Vivere Pericoloso” mengungkapkan tiga paradigma besar yang dapat membangkitkan Indonesia menjadi bangsa yang besar nan sejahtera baik secara politik, ekonomi maupun budaya. Konsep itulah yang kita kenal Tri Sakti.
Pertama, Berdaulat dalam Politik. Mental Irlander akibat kolonialisme belanda tiga ratus lima puluh tahun masih terasa lekat sampai detik ini. Kondisi bangsa dalam cengkraman kolonialisme berafiliasi terhadap kedaulatan politik karena hampir semua sektor telah diintervensi bangsa lain. Oleh karena itu, gaya politik yang ditunjukkan oleh elite politik kita sebenarnya tidak memiliki identitas politik khas nusantara. Kalau Bung Karno menyebutnya kita belum melakukan “nation building dan character building” yang harus lanjutnya diteruskan sehebat-hebatnya demi menunjang kedaulatan politik kita.
Kedua, Berdikari dalam ekonomi. Meskipun para insvistor asing melihat kemajuan ekonomi Indonesia saat ini berada pada titik aman. Namun kekayaan Sumber Daya Alam kita belum membangkitkan ekonomi nasional dan apalagi mensejahterakan rakyat dikarenakan tingkat ketergantungan terhadap pranata ekonomi asing sangat tinggi. Melihat realitas ini Bung Karno mengemukaan bahwa pentinya mengatur perekonomian diatas kaki sendiri demi kesejahteraan rakyat. Sebab dimanapun ketergantungan tidak akan menjamin kesejahteraan, yang ada adalah sebaliknya.
Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan. Ditengah-tengah kontroversi kedatangan Lady Gaga di Indonesia sebenarnya jauh hari sudah diperingatkan Bung Karno. Bangsa harus menghormati budaya warisan nenek moyang dan menghargai nilai-nilai luhur kebudayaan. Karakter dan kepribadian budaya nusantara mutlak dijaga dan dilestarikan untuk menjaga identitas bangsa. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghormati budayanya sendiri.
Taufiqurrahman