Review Kecil Film Soegija 2012



Synopsis

Film yang dituturkan dengan pendekatan sejarah popular-romantis ini, mengisahkan  seorang tentang Romo Soegijapranata  yang diangkat Vatikan  menjadi Uskup pribumi pertama di Indonesia.


Soegija  diangkat di tengah situasi  gejolak perang Asia Pasific, ketika   harapan tumbuhnya keadilan  disertai  berbagai bentuk kekerasan dan penderitaan yang melibatkan bangsa-bangsa dunia, persoalan nasionalisme dan transisi kepemimpinan di daerah-daerah di Indonesia. Diwarnai dengan kehadiran Jepang, keinginan  Belanda untuk tetap berkuasa  di Indonesia,  kedatangan Sekutu dan  proses Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.


Kisah yang berlangsung pada tahun 1940-1950, tentang kerja kepemimpinan dengan “silent diplomacy“ serta prinsip kebangsaan dan kemanusiaan Soegija. Di tengah kisah-kisah manusia dan kemanusiaan yang begitu beragam dan penuh dimensi: Mariyem, remaja yang ingin menjadi perawat dan  yang mencari kakaknya;  kisah kemanusiaan serdadu Jepang (Suzuki) yang harus berperang namun mencintai  anak-anak; kisah serdadu Belanda  (Robert) yang menjadi mesin perang tapi bertemu dengan peristiwa kemanusiaan; kisah  fotografer Belanda (Hendrick) yang terjebak perang dan cinta;  kisah gerilyawan remaja buta huruf (Banteng); kisah Ling Ling gadis kecil Tionghoa   yang mencari ibu dan mempertanyakan nasibnya;  kisah gerilyawan (Lantip) yang hidup untuk  mengorganisir anak muda untuk berjuang;  kisah Pembantu Uskup (Koster Toegimin)   yang hidup sendiri dan menjadi teman dialog Soegija dalam kesehariannya.


Di tengah situasi penuh kekacauan  di Semarang,  Soegija berusaha memandu religiusitas dalam perspektif nasionalisme yang humanis. Ia menjalankan  “silent diplomacy”, melakukan  perundingan damai yang melibatkan Sekutu (termasuk Belanda),  Jepang, dan Indonesia di tengah perang lima hari di Semarang.


Ia melakukan surat menyurat dan pertemuan dengan pemimpin  Indonesia seperti Syahrir dan Soekarno serta tokoh-tokoh lainnya. Di sisi lain, Soegija  juga mendukung  pengorganisasian gerakan pemuda untuk  mendukung gerakan pemuda lainnya  serta pelayanan sosial. Ia melakukan panduan nilai kepemimpinan lewat kunjungan warga, khotbah dan tulisan-tulisan, antara lain,  "Apa artinya  menjadi bangsa  merdeka jika kita gagal mendidik diri sendiri."



Pasca  kemerdekaan, Belanda tetap ingin berkuasa di Indonesia. Wilayah Republik menjadi sangat kecil, Uskup Soegija memutuskan memindahkan Keuskupan dari Semarang  ke Jogjakarta  untuk mendukung Republik yang ibukotanya saat itu dipindah ke Jogjakarta juga.


Soegija  melakukan "silent diplomacy" yang penting sehingga Vatikan mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal ini  menyebabkan dukungan dunia internasional terhadap Belanda mengalami kemerosotan yang sangat besar. Soegija terus melakukan seruan-seruan panduan nilai, "Dalam masyarakat, masih terdapat fatalsime, fanatisme, chouvinisme, egoisme….. yang mengganggu kehidupan bermasyarakat."


Film ini ditutup dengan hengkangnya Belanda dari tanah Indonesia. Masing-masing tokoh mengalami dunia baru:  Robert tertembak, justru ketika ia ingin pulang setelah merasakan kebodohan perang. Sementara,  Mariyem kembali menjadi perawat, Lantip ingin kerja politik, Banteng dan sahabat kecilnya berjalan di jalanan dengan bebas meskipun tetap menyelipkan senjata di celana. Sebuah isyarat akan kebebasan dan harapan baru. Namun tidak seorang pun bisa memprediksi masa depan Indonesia. Uskup Soegija berpesan ke Lantip, "Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik, jika tidak punya, maka politikus hanya jadi benalu Negara."


Uskup Soegija kembali ke Semarang, ia menulis pesan, ” Kemanusiaan itu satu,…di masa depan tidak ada lagi anak-anak  hidup di tengah mesiu dan kekerasan……”



DIRECTOR'S  STATEMENT


Kenapa Sejarah Popular?

Pendekatan sejarah popular dengan bahasa hari ini sengaja dipilih dengan  menggabungkan kisah nyata Mgr. Soegijapranata dengan intreprestasi kisah-kisah  di tengah revolusi yang diambil dari berbagai sumber (Sahabat Soegija,  Kisah Revolusi, Buku harian serdadu Jepang dan Belanda, dll). Oleh karena itu, film ini bukanlah sejarah pribadi Soegija dalam kerja maupun persoalan agama.


Sesungguhnya  banyak sekali pilihan  untuk menuturkan kisah Mgr. Albertus Soegijapranata yang memang multi dimensi, baik itu dari segi perjalanan sejarah pribadi dan  karier (agama) hingga persahabatannya dengan  Soekarno dan tokoh-tokoh pejuang  kemerdekaan lainnya.   Film ini merupakan salah satu intrepretasi populer yang memerlukan intrepretasi-intreoretasi lainnya di kemudian hari dengan beragam cara pandang. 


Maka film ini dikemas dengan keindahan "Hollywood dan Eropa"  namun dengan "drama Asia”  untuk menjadi bagian budaya populer masa kini, tanpa mengurangi nilai hiburan sebagai  kemasan yang mengelola rasa  kemanusiaan dan kebangsaan.


Tuturan film ini  lalu menggabungkan action, drama, komedi dan diperkaya dengan lagu-lagu serta epik kolosal.


Kenapa  diperlukan film "Soegija"?

Kita sesungguhnya perlu melihat dan belajar kembali dari kepemimpinan era kemerdekaan,  yakni  kepemimpinan berbagai agama dan kepercayaan,  yang sesungguhnya telah memberi sumbangan besar terhadap berdirinya Republik  dalam perspektif nasionalisme humanisme.


Masyarakat  Indonesia yang multikultur perlu mengalami  beragam kepemimpinan agama dari beragam agama, yang bahu membahu memberi sumbangan pada nasionalisme. Film "Soegija" adalah salah satunya. Di masa depan mungkin juga perlu kembali mengangkat kepemimpinan dari beragam agama dan kepercayaan lainnya di Indonesia.


Masih aktualkah  "Soegija"?

Kepemimpinan dan nilai-nilai yang diyakini oleh  Soegijapranata terasa sangat relevan dengan kondisi sekarang meski dalam perspektif berbeda. Panduan nilai seperti "politikus tanpa mental politik, hanya jadi kekuasaan dan benalu negara"  juga keprihatinannya,  "Masih banyak fatalsisme, egoism, chouvinisme, dan fanatisme yang mengganggu kehidupan bermasyarakat" serta kegundahannya, "Apa artinya menjadi merdeka, tanpa  bisa mendidik diri sendiri ?” hanyalah beberapa contoh.


Film ini juga mengisyaratkan bahwa kepemimpinan diperlukan untuk memandu beragam gejolak  kekerasan yang terjadi di Indonesia, baik dalam lingkup  nasional  maupun gejolak di daerah-daerah yang dipenuhi kekerasan serta penjarahan bahkan yang melibatkan dunia international.



BEHIND THE SCENE:

Multikutur Pemain

Inilah  assemble acting multikultur, Jawa, Cina, hingga Belanda, Jepang  dan beragam bangsa dengan beragam bahasa. Bahkan pemain Jepang dan Belanda  adalah pemain yang asli dan di casting dari negaranya masing-masing. Dari segi pemain dan ekstras/figuran mencapai kurang lebih dari 2775 orang dan tiap hari mencapai 150 pemain dan ekstras/figuran.


Multikultur  Artistik  dan Kostum

Era 1940-1950 adalah era yang sangat kompleks karena gabungan dari beragam artistik (arsitektur, kostum, gaya hidup, tata rambut, dll). Maka kerja artistik dan kostum menjadi sebuah kerja yang luarbiasa, apalagi angle dari kamera selalu lebar dan luas  dengan tuntutan kejadian sehari-hari yang memerlukan penyediaan artistik yang detail: bermain tenis, restoran, interniran, alat musik, situasi  dan arsitektur gereja, jalan kota, dll


Multikultur Musik dan Lagu

Memilih Djadug sebagai penata musik adalah pilihan terhadap kekayaan situasi sosial dan politik dalam perspektif  lagu dan musik. Dan film inipun dipenuhi dengan lagu-lagu tahun 1940-1950 yang  multikultur dalam bahasa ataupun jenis lagu dan musik. Djadug dengan cerdik meletakkan lagu-lagu populer saat itu, tidak semata lagu kebangsaan,  guna memberi ruang sosial  kehidupan rakyat dan   menggabungkannya dengan  keindahan humanisme musikal yang kuat.


Multikultur Visual

Kerja kamera adalah menggabungkan visual  yang kuat ala "Hollywood-Eropa" dengan perasaan-perasaan kehidupan Asia khususnya Indonesia saat itu. Sebuah kerja yang sangat tidak gampang karena dimensi Indonesia adalah keberagaman visual kehidupan, sebutlah rumah etnis Cina, ruang publik kota Belanda di Indonesia, sudut Jogja, dll.


Multikultur Manajemen

Film ini menuntut manajemen produser dan tim asisten yang bekerja sangat luas dan keras menghadapi persoalan lingkup manajemen manusia multikultur, kerumitan artistik hingga pengelolaan ruang dan waktu karena pengambilan gambar dilakukan di berbagai kota seperti di Semarang, Magelang, Ambarawa, Klaten, Jogja) serta juga biaya yang tidak sedikit.

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.