Synopsis
Film yang dituturkan dengan pendekatan sejarah
popular-romantis ini, mengisahkan seorang tentang Romo
Soegijapranata yang diangkat Vatikan menjadi Uskup pribumi pertama
di Indonesia.
Soegija diangkat di tengah situasi gejolak
perang Asia Pasific, ketika harapan tumbuhnya keadilan
disertai berbagai bentuk kekerasan dan penderitaan yang melibatkan
bangsa-bangsa dunia, persoalan nasionalisme dan transisi kepemimpinan di
daerah-daerah di Indonesia. Diwarnai dengan kehadiran Jepang, keinginan
Belanda untuk tetap berkuasa di Indonesia, kedatangan Sekutu
dan proses Indonesia menjadi bangsa yang merdeka.
Kisah yang berlangsung pada tahun 1940-1950, tentang
kerja kepemimpinan dengan “silent diplomacy“ serta prinsip kebangsaan dan
kemanusiaan Soegija. Di tengah kisah-kisah manusia dan kemanusiaan yang begitu
beragam dan penuh dimensi: Mariyem, remaja yang ingin menjadi perawat dan
yang mencari kakaknya; kisah kemanusiaan serdadu Jepang (Suzuki) yang
harus berperang namun mencintai anak-anak; kisah serdadu Belanda
(Robert) yang menjadi mesin perang tapi bertemu dengan peristiwa kemanusiaan;
kisah fotografer Belanda (Hendrick) yang terjebak perang dan cinta;
kisah gerilyawan remaja buta huruf (Banteng); kisah Ling Ling gadis kecil
Tionghoa yang mencari ibu dan mempertanyakan nasibnya; kisah
gerilyawan (Lantip) yang hidup untuk mengorganisir anak muda untuk
berjuang; kisah Pembantu Uskup (Koster Toegimin) yang hidup
sendiri dan menjadi teman dialog Soegija dalam kesehariannya.
Di tengah situasi penuh kekacauan di
Semarang, Soegija berusaha memandu religiusitas dalam perspektif
nasionalisme yang humanis. Ia menjalankan “silent diplomacy”,
melakukan perundingan damai yang melibatkan Sekutu (termasuk
Belanda), Jepang, dan Indonesia di tengah perang lima hari di Semarang.
Ia melakukan surat menyurat dan pertemuan dengan
pemimpin Indonesia seperti Syahrir dan Soekarno serta tokoh-tokoh
lainnya. Di sisi lain, Soegija juga mendukung pengorganisasian
gerakan pemuda untuk mendukung gerakan pemuda lainnya serta
pelayanan sosial. Ia melakukan panduan nilai kepemimpinan lewat kunjungan
warga, khotbah dan tulisan-tulisan, antara lain, "Apa artinya
menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri sendiri."
Pasca kemerdekaan, Belanda tetap ingin berkuasa
di Indonesia. Wilayah Republik menjadi sangat kecil, Uskup Soegija memutuskan
memindahkan Keuskupan dari Semarang ke Jogjakarta untuk mendukung
Republik yang ibukotanya saat itu dipindah ke Jogjakarta juga.
Soegija melakukan "silent diplomacy"
yang penting sehingga Vatikan mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal ini
menyebabkan dukungan dunia internasional terhadap Belanda mengalami kemerosotan
yang sangat besar. Soegija terus melakukan seruan-seruan panduan nilai,
"Dalam masyarakat, masih terdapat fatalsime, fanatisme, chouvinisme,
egoisme….. yang mengganggu kehidupan bermasyarakat."
Film ini ditutup dengan hengkangnya Belanda dari tanah
Indonesia. Masing-masing tokoh mengalami dunia baru: Robert tertembak,
justru ketika ia ingin pulang setelah merasakan kebodohan perang.
Sementara, Mariyem kembali menjadi perawat, Lantip ingin kerja politik,
Banteng dan sahabat kecilnya berjalan di jalanan dengan bebas meskipun tetap
menyelipkan senjata di celana. Sebuah isyarat akan kebebasan dan harapan baru.
Namun tidak seorang pun bisa memprediksi masa depan Indonesia. Uskup Soegija
berpesan ke Lantip, "Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik,
jika tidak punya, maka politikus hanya jadi benalu Negara."
Uskup Soegija kembali ke Semarang, ia menulis pesan, ”
Kemanusiaan itu satu,…di masa depan tidak ada lagi anak-anak hidup di
tengah mesiu dan kekerasan……”
DIRECTOR'S STATEMENT
Kenapa Sejarah Popular?
Pendekatan
sejarah popular dengan bahasa hari ini sengaja dipilih dengan
menggabungkan kisah nyata Mgr. Soegijapranata dengan intreprestasi
kisah-kisah di tengah revolusi yang diambil dari berbagai sumber (Sahabat
Soegija, Kisah Revolusi, Buku harian serdadu Jepang dan Belanda, dll). Oleh karena itu, film ini bukanlah sejarah
pribadi Soegija dalam kerja maupun persoalan agama.
Sesungguhnya
banyak sekali pilihan untuk menuturkan kisah Mgr. Albertus Soegijapranata
yang memang multi dimensi, baik itu dari segi perjalanan sejarah pribadi
dan karier (agama) hingga persahabatannya dengan Soekarno dan
tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lainnya. Film ini merupakan salah satu intrepretasi
populer yang memerlukan intrepretasi-intreoretasi lainnya di kemudian hari
dengan beragam cara pandang.
Maka film ini dikemas dengan keindahan "Hollywood
dan Eropa" namun dengan "drama Asia” untuk menjadi bagian
budaya populer masa kini, tanpa mengurangi nilai hiburan sebagai kemasan
yang mengelola rasa kemanusiaan dan kebangsaan.
Tuturan film ini lalu menggabungkan action,
drama, komedi dan diperkaya dengan lagu-lagu serta epik kolosal.
Kenapa
diperlukan film "Soegija"?
Kita sesungguhnya
perlu melihat dan belajar kembali dari kepemimpinan era kemerdekaan,
yakni kepemimpinan berbagai agama dan kepercayaan, yang
sesungguhnya telah memberi sumbangan besar terhadap berdirinya Republik
dalam perspektif nasionalisme humanisme.
Masyarakat Indonesia yang multikultur perlu
mengalami beragam kepemimpinan agama dari beragam agama, yang bahu
membahu memberi sumbangan pada nasionalisme. Film "Soegija" adalah
salah satunya. Di masa depan mungkin juga perlu kembali mengangkat kepemimpinan
dari beragam agama dan kepercayaan lainnya di Indonesia.
Masih
aktualkah "Soegija"?
Kepemimpinan dan
nilai-nilai yang diyakini oleh Soegijapranata terasa sangat relevan
dengan kondisi sekarang meski dalam perspektif berbeda. Panduan nilai seperti
"politikus tanpa mental politik, hanya jadi kekuasaan dan benalu
negara" juga keprihatinannya, "Masih banyak fatalsisme,
egoism, chouvinisme, dan fanatisme yang mengganggu kehidupan bermasyarakat"
serta kegundahannya, "Apa artinya menjadi merdeka, tanpa bisa
mendidik diri sendiri ?” hanyalah beberapa contoh.
Film ini juga
mengisyaratkan bahwa kepemimpinan diperlukan untuk memandu beragam
gejolak kekerasan yang terjadi di Indonesia, baik dalam lingkup
nasional maupun gejolak di daerah-daerah yang dipenuhi kekerasan serta
penjarahan bahkan yang melibatkan dunia international.
BEHIND THE SCENE:
Multikutur Pemain
Inilah assemble acting multikultur,
Jawa, Cina, hingga Belanda, Jepang dan beragam bangsa dengan beragam
bahasa. Bahkan pemain Jepang dan Belanda adalah pemain yang asli dan di casting dari
negaranya masing-masing. Dari segi pemain dan ekstras/figuran mencapai kurang
lebih dari 2775 orang dan tiap hari mencapai 150 pemain dan ekstras/figuran.
Multikultur Artistik dan Kostum
Era 1940-1950 adalah era yang sangat kompleks karena
gabungan dari beragam artistik (arsitektur, kostum, gaya hidup, tata rambut,
dll). Maka kerja artistik dan kostum menjadi sebuah kerja yang luarbiasa,
apalagi angle dari
kamera selalu lebar dan luas dengan tuntutan kejadian sehari-hari yang
memerlukan penyediaan artistik yang detail: bermain tenis, restoran,
interniran, alat musik, situasi dan arsitektur gereja, jalan kota, dll
Multikultur Musik dan Lagu
Memilih Djadug sebagai penata musik adalah pilihan
terhadap kekayaan situasi sosial dan politik dalam perspektif lagu dan
musik. Dan film inipun dipenuhi dengan lagu-lagu tahun 1940-1950 yang
multikultur dalam bahasa ataupun jenis lagu dan musik. Djadug dengan cerdik
meletakkan lagu-lagu populer saat itu, tidak semata lagu kebangsaan, guna
memberi ruang sosial kehidupan rakyat dan menggabungkannya
dengan keindahan humanisme musikal yang kuat.
Multikultur Visual
Kerja kamera adalah menggabungkan visual yang
kuat ala "Hollywood-Eropa" dengan perasaan-perasaan kehidupan Asia
khususnya Indonesia saat itu. Sebuah kerja yang sangat tidak gampang karena
dimensi Indonesia adalah keberagaman visual kehidupan, sebutlah rumah etnis
Cina, ruang publik kota Belanda di Indonesia, sudut Jogja, dll.
Multikultur Manajemen
Film ini menuntut manajemen produser dan tim asisten
yang bekerja sangat luas dan keras menghadapi persoalan lingkup manajemen
manusia multikultur, kerumitan artistik hingga pengelolaan ruang dan waktu
karena pengambilan gambar dilakukan di berbagai kota seperti di Semarang,
Magelang, Ambarawa, Klaten, Jogja) serta juga biaya yang tidak sedikit.