Korupsi Mengeliminasi Nasionalisme

Benang Kusus Korupsi, sumber disini
Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki banyak "hari peringatan". Sebenarnya, untuk apa penetapan "hari tertentu itu?" Jelas, dari sisi historis, lebih-lebih untuk menjaga anak bangsa agar tetap ingat akan sebuah peristiwa. Misalnya, Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang besok kita peringati untuk mengingat titik tolak kebangkitan kebangsaan atau nasionalisme.

Ketika itu, kaum terpelajar Stovia mau mengajak seluruh komponen bersatu sebagai bangsa, bukan lagi terpecah-pecah kedaerahan. Lahirlah Boedi Oetomo 1908 yang kelak 20 tahun kemudian diperkuat angkatan 1928. Kedua gerakan ini dipelopori kaum muda terdidik dengan semangat mau menjadi bangsa seutuhnya walaupun waktu itu "Indonesia" belum lahir.

Semangat muda mereka mau mencapai sebuah cita-cita bangsa berdasarkan budi (boedi) yang utama (oetomo). Cita-cita yang dikumandangkan Soetomo dan kawan-kawan seperti M Soeradji, M Muhammad Saleh, M Soewarno, dan M Goenawan pada 20 Mei 1908 akhirnya melahirkan gerakan "Boedi Oetomo".

Boedi Oetomo adalah sebuah semangat, sebuah perjuangan, dan bahkan sebuah cita-cita. Boedi Oetomo (meminjam istilah sekarang) adalah sebuah goal, yaitu mau hidup, berperilaku, berperangai baik, jujur, adil, dan selaras dengan nilai-nilai luhur lain, terutama etika moral.

Tujuannya ialah mau berangan-angan menjadi bangsa yang ber-boedi (berperangai, bertabiat, berperilaku, dan hidup) yang oetomo (pertama, yang prima, terbaik dalam arti luhur, suci) yang terkandung di dalam "budi utomo" pastilah seluruh nilai-nilai positif, luhur, dan adikodrati seperti: kejujujuran, keadilan, kepedulian, tepo seliro.

Ketika belum ada lembaga yang legal, kaum pelajar Stovia itu mengambil langkah strategis untuk siap menanggung segala risiko karena tidak tertutup kemungkinan mereka harus berhadapan dengan kolonial. Kedua gerakan tersebut menjadi cikal-bakal gerakan nasionalisme Indonesia.

Melalui pemikiran-pemikiran kritis, kaum terpelajar itu terus menggelorakan dan menggalang persatuan nasional yang akan menjadi energi revolusi bagi pembentukan sebuah bangsa yang utuh guna mempersatukan segala bentuk perkumpulan dengan label "Jong".

Korupsi

Cita-cita Boedi Oetomo terus bergerola sampai nanti benar-benar terproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 oleh Soekarno-Hatta. Bangsa yang semula dilandasi roh mulia, budi utomo itu, terus berkembang dan semakin tambah usia. Akan tetapi, umur yang semakin meningkat tidak serta-merta menambah kedewasaan bangsa ini.

Makna dewasa adalah individu yang mampu bertindak benar sesuai dengan suara hati. Itulah bangsa yang bebas. Itulah bangsa yang bertanggung jawab. Namun, bangsa yang seperti itu (bertindak sesuai dengan suara hati, bebas, dan bertanggung jawab) masih jauh dari realitas. Banyak manusia Indonesia yang menentukan, memiliki posisi, dan berkuasa, hidup masih berdasarkan demi kepentingan sendiri. Mereka belum berlaku baik. Mereka belum berperangai utama.

Dengan kata lain, perjalanan bangsa ini, perilaku elite negeri ini telah menyimpang dari semangat Boedi Oetomo, telah terjadi deviasi. Dengan begitu, mereka terasing dari semangat Boedi Oetomo karena lebih mengikuti gelora kerakusannya.

Inilah penyimpangan psikologis terbesar sebuah bangsa. Hidup bangsa ini sudah jauh dari perjuangan para pelajar Stovia: "menjadi bangsa yang ber-boedi (berperangai, bertabiat, berperilaku, dan hidup) yang oetomo (pertama, yang prima, terbaik dalam arti baik, luhur).

Merajalelanya praktik korupsi yang seolah sudah mendarah daging dan merasuki seluruh elite (DPR, partai, dan birokrasi) menjadi bukti penyimpangan dari tujuan para pendiri Boedi Oetomo. Penyimpangan adalah sebuah deviasi. Jika normal, mereka tidak akan korupsi. Mereka seharusnya tidak korup, tetapi melakukan sehingga mereka dalam tataran psikologis tidaklah normal sebab orang yang secara psikologi normal, harusnya jauh dari korupsi.

Sebagai penyimpangan, korupsi bertolak belakang dengan hidup jujur dan adil sebagaimana dicita-citakan gerakan Stovia. Maka dari itu, korupsi adalah penyakit psikologis. Dengan kata lain, para koruptor itu perlu diperbaiki psikisnya.

Penjara hanya akan memenuhi tuntutan yuridis akibat kesalahan yang mereka lakukan dan itu wajib diterapkan. Tetapi, tanpa penyembuhan psikis, para koruptor setelah keluar dari penjara tidak akan sembuh (secara kejiwaan.) Untuk itu, selain hukuman yang merupakan konsekuensi logis tindakan "merampok" uang rakyat itu, juga perlu dilakukan terapi psikologis pada para koruptor.

Paling Konkret

Koruptor juga menjadi penghancur nasionalisme karena bersifat egoistis, tidak memikirkan orang lain. Mereka hanya peduli pada diri sendiri dan tidak belarasa pada bangsa dan negara. Korupsi adalah perampasan paling konkret atas hak asasi orang lain. Inilah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terbesar karena koruptor telah menelan jatah orang lain.

Korupsi menegasikan nasionalisme karena merusak kesatuan serta persatuan dan mengubahnya menjadi arena penjarahan, aji mumpung, dan pamer ketamakan. Maka dari itu, dalam rangka permenungan Harkitnas, perlu direfleksikan kembali tujuan para pelajar yang mengarah perihidup budi utomo, yaitu agar bangsa hidup dalam perangai yang baik.

Sudahkah demikian? Belum, masih jauh! Untuk itu, mari kembali kepada diri sendiri untuk membersihkan dari hidup yang rakus, bersentrum pada perut sendiri. Jangan mengambil yang bukan haknya. Berikan kepada mereka yang berhak. Inilah pekerjaan rumah bangsa Indonesia: kembali hidup jujur, seperti cita-cita pendiri budi utomo.

Orang harus kembali pada psikologi integral dengan menjadi diri sendiri, menjadi manusia otentik (asli) sebagaimana digambarkan Kirkergaard yang menuntut kesesuaian antara pikiran, tindakan, dan ucapan. Hidup elite nasional jauh dari kesesuaian antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Mereka menutup suara hati sendiri dan lebih mendengarkan seruan daging: nikmat, nikmat, dan nikmat.

Itulah potret elite yang menjadi orang lain. Mereka hidup dalam tahap pertama dan tidak pernah lulus dari fase itu. Menurut Kirkergaard, manusia hidup dalam tiga tahap. Pertama adalah tahap estetis di mana pada fase ini hidup manusia hanya untuk memenuhi segala keinginan duniawi fisik, material. Inilah tahap paling rendah dan paling tidak bermutu.

Tahap kedua adalah fase etis. Ini adalah gaya hidup setingkat lebih tinggi karena pemenuhan hasrat tahap satu tidak lagi menjadi prioritas hidup. Fase ketiga adalah yang tertinggi. Inilah tahap religius, fase di mana manusia "mengatasi" yang serba duniawi dan hidup memikirkan yang lebih luhur. Di manakah fase kita? Di manakah fasemu, kaum elite? diambil dari koran-jakarta.com

Oleh Dominica Xyannie
Penulis adalah mahasiswa psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.