Marsinah Simbol Perlawanan Buruh


Oleh Taufiqurrahman

Perjuangan buruh Indonesia untuk mendapatkan hidup layak terus diupayakan. Namun, hasilnya belum memuaskan. Tarik ulur kepentingan buruh, perusahaan dan pemerintah tanpa kesepakatan final. Tak ayal, jika perlawanan buruh terhadap kesewenang-wenangan perusahan, perlu diperhatikan dan di dorong.

Momentum 1 Mei, diperingati hari buruh sedunia yang dikenal dengan istilah May Day. Kaum buruh dari seluruh dunia memperingati peristiwa besar, yakni demostrasi kaum  buruh di Amerika Serikat pada 1886, yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja semenjak tahun 1872 di kanada. Sebab saat itu, buruh dipaksa bekerja 12 sampai 16 jam sehari. Finalnya, Federation of Organized Trade and Labor Unions, menetapkan 1 Mei 1886 sebagai hari buruh sedunia.

Perlawanan Buruh
Berbeda dengan perjuangan buruh di Indonesia. Hari buruh di Indonesia, kita selalu di ingatkan kembali terhadap sosok perempuan pemberani dan setiakawan dalam menuntut haknya sebagai buruh. Ia adalah marsinah. Marsinah lahir 10 April 1969, di Nglundo, Nhanjuk, Jawa Timur. Sejak usia tiga tahun ia diasuh oleh neneknya. Ia sempat mengeyam bangku sekolah sampai tingkatan SMPN 5 Nganjuk, Jawa Timur. Selama menjadi siswi ia dikenal sebagai siswa yang cerdas. Memiliki semangat belajar yang tinggi serta selalu mengukir prestasi dengan sering juara kelas.

Namun lagi-lagi masalah ekonomi, membuat marsinah terganjal untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ia kemudian meninggalkan desa dan mengadu nasib di kota. Menjadi buruh adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan karena desakan ekonomi yang begitu kuat.
Marsinah diterima di Pabrik Alroji PT Catur Putra Surya (CPS) Surabaya. Pada pertengahan April, pabrik tempat Marsinah bekerja resah karena ada kabar kenaikan upah. Dalam surat edaran Gubenur Jawa Timur, para pengusaha dihimbau untuk segera menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok.

Puncaknya, pada 3 Mei 1993 hampir seluruh buruh PT CPS memutuskan untuk tidak masuk kerja. Begitupula dengan hari berikutnya, aksi buruh semakin bersar dengan mengajukan 12 tuntutan. Marsinah sangat bersemangat menyuarakan tuntutan itu. Ia adalah satu-satunya perwakilan dari buruh yang getol memperjuangkan tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp 2.250,- perhari. Sebagaimana kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional.

Namun, tak lama setelah kesepakatan yang melelahkan tersebut tercapai. Justru pada tanggal 5 mei 1993, ada 13 buruh dipanggil Kodim Sidoarjo. Para tentara mendesak agar ke-13 buruh untuk menandatangai surat PHK secara sepihak. Menyusul hari berikutnya sebanyak 8 buruh di PHK di tempat yang sama tanpa keterangan jelas juga.

Kondisi tersebut mengidentivikasikan bahwa hukum di Indonesia tajam dibawah tumpul di atas. Seringkali hukum kehilangan amunisi ketika senapan tentara ikut berjubel. Tak tahan dengan perlakukan kodim yang sewenang-wenang terhadap kawan-kawannya, marsinah marah, gundah, tidak terima dan meledak. Dengan tekat bulat lantas ia pergi sambil membawa surat panggilan kodim tersebut. Kepergian marsinah menjadi kepergiannya selama-lamanya.

Marsinah di temukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 8 Mei 1993, tidak bernyawa. Ia tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya memar bekas pukulan benda-benda tumpul. Seperti telah habis di siksa dan di aniaya. Mengenaskan.

Syahdan, kisah Marsinah ini menjadi saksi catatan monumen sejarah perjuangan buruh terhadap ketidakadilan, tentang seseorang yang berusaha menuntut haknya dan tentang perlawanan buruh perempuan yang tanpa ragu kehilangan nyawanya demi kenyakinan akan kemanusiaan dan kebenaran.

Hak yang Tergadaikan
Secara garis besar, urgensi May Day adalah momentum bagi kaum buruh dalam memperjuangkan nasib mereka dengan menyarakan aspirasi-aspirasi dan hak-hak mereka terhadap kebijakan pemerintah tentang ketenagakerjaan.

Buruh sendiri sesuai dengan UU NO. 13/2003 adalah mereka yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi, pada dasarnya hampir semua orang yang bekerja baik di bawah perusahaan maupun di luar perusahaan asal menerima upah atau imbalan dari atasan adalah seorang buruh.

Karl Marx pun mendefiniskan buruh lebih tegas bahwa setiap orang yang bekerja tanpa memiliki alat produksi sendiri adalah buruh. Jadi, petani, nelayan, jurnalis, bahkan manajer sekalipun dapat dikatakan sebagai buruh.

Terlepas dari itu, permasalah kesejahteraan buruh sampai saat ini masih di atas angin. Padahal secara hukum,  Negara Indonesia sudah melindungi buruh dengan undang-undang ratifikasi konvensi dari International Labour Organization (ILO) dan dilegalkannya UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2013. Namun, dalam prakteknya masih saja ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dlakukan perusahaan terhadap hak normative kaum buruh. Pertanyaanya apakah hukum indonesia telah melindungi hak-hak normative kaum buruh?

Oleh karena itu, dalam konteks ini pemerintah perlu mengontrol implementasi hak-hak normatif buruh, baik dalam berserikat, pengendali sistem pengupahan yang belum teratur, pengujian kemabali sistem kerja outsourching, dan mendorong jaminan kesehatan dan sosial terhadap nasib buruk. Sebab, selama ini logika kapitalis selalu memposisikan buruh sebagai komoditas. Hidup buruh.

kunjungi juga artikel ini

Subscribe your email address now to get the latest articles from us

 
Copyright © 2015. Taufiqurrahman SN.
Design by The Begundal.